Sabtu, 19 April 2014

Jika Empati Sudah Bukan Mainstream Lagi


Zaman sekarang mau empati? Kayaknya itu sudah zaman dulu banget ya. Empati sudah menjadi harta karun terpendam di bawah laut, di tengah-tengah segitiga bermuda pula #halah

10 tahun yang lalu suami saya pernah tinggal di Depok, suami saya kos di sana selama 2 tahun, sedangkan saya sesekali menjenguk dan biasanya menginap di sana selama kurang lebih 1 bulan an. Nah selama saya menginap di Depok banyak sekali kejadian-kejadian di sana yang membuat saya stress, diantaranya berikut ini:

  • Belum genap sebulan suami nge-kos, eh hape sudah hilang dicuri orang, eh yang nyuri orang bukan ya?
  • Bulan berikutnya kunci sepeda motor hilang juga dicuri, pencurinya cuma sempat mengambil kunci motornya saja karena suami sudah keburu terbangun, dan pencurinya langsung lari, kenceng banget, bahkan tembok yang tingginya 2 meter bisa dilompati dengan suksesnya oleh pencuri itu saat dikejar rame-rame. #wow
  • Saat naik KRL, pastilah penuh banget, apalagi saat itu KRL memang datangnya terlambat, jadi penumpangnya menumpuk. Pas datang KRL nya, semua penumpang di stasiun itu masuk, entah cukup atau tidak, yang penting masuk, tanpa antrian, seperti biasa. Waktu itu stasiun langsung penuh, saya yang badannya kecil tidak bisa melihat lagi kemana-mana. Di stasiun selanjutnya, KRL berhenti, alhamdulillah ada yang turun, tapi yang naik lebih banyak lagi, jadi di dalam rasanya lebih sesak lagi. Ada ibu-ibu yang memaksakan diri tetap masuk dalam KRL, ditegur oleh bapak-bapak di dekat pintu, "Ibu mending nunggu KRL berikutnya bu yang ini sudah penuh banget". Mungkin bapaknya kasihan kalau melihat ibu-ibu itu harus ikutan berjubel. Tapi apa jawab ibunya, "Bodo amat", sambil terus merangek ke dalam KRL, tidak lupa sambil membentangkan sikutnya ke kiri dan kanan, berupaya membelah jubelan manusia. #Kena sikut juga euy...
  • Pas ke pasar, saya dan suami beli buah duku. Waktu itu kita beli sebanyak 3 kg, kita tidak menawar harga karena harganya sudah ditulis besar-besar di sebelahnya. Nah masalahnya bukan di harga, pas pulang kita mampir ke rumah saudara, di rumahnya ada timbangan, iseng saya timbang duku itu, eh cuma 2 kg ternyata, subhanallah. Mau marah sudah nggak ada orangnya. Ya sudah lah...lain kali hati-hati.
  • Hari itu akhir bulan, uang di tangan tinggal Rp 50.000,00 untuk hidup 1 minggu untuk saya dan suami, karena beasiswa suami baru akan ditransfer minggu depan. Maka harus menyiasati untuk makan, di kos masih ada beras, jadi tinggal beli lauk yang bisa dikonsumsi untuk sehari. Kami memutuskan untuk beli ayam goreng kentaki di warung deket kos. Beli Rp 10.000,00 kalau nggak salah dapat 4 sayap waktu itu. Sampai di kos, saya sama suami siap-siap makan, rencanaanya 2 untuk sarapan pagi, 2 untuk siang, sore bikin mie. Saat kita membuka bungkusan ayam goreng itu, kok ada bau-bau yang aneh, setelah di cek-cek ternyata 2 ayam goreng itu ayamnya sudah 2 busuk, jadi hanya 2 saja yang bisa dikonsumsi. Oh....rasanya mau nangis waktu itu. #Tega amat penjualnya ya...
  • Hari itu kita ke terminal bis, ingin pergi ke suatu tempat. Karena tidak yakin bis mana yang harus kita naiki, maka kita tanya seseorang yang ada di sana, bapak-bapak. Kita lalu naik bis yang ditunjuk bapak tersebut. Begitu bis jalan, kita bayar, eh keneknya bilang kalau kita salah naik bis. Ya Allah...keneknya ngasih solusi supaya kita turun di terminal berikutnya saja. Oke lah kalau begitu. Tapi ternyata, entah ada apa, ada pengumuman dari kenek kalau bis harus segera kembal ke terminal yang pertama, dan semua penumpang harus diturunkan. Yak....kita semua diturunkan di tengah jalan, dan semua penumpang harus berjalan kaki ke terminal berikutnya. Semua penumpang menggerutu dan marah. #Ah kenek sama sopir cuek aja tuh.
Itu hanya sebagian contoh saja lho, itupun yang saya dan suami saya alami 10 tahun yang lalu. Nah dalam kurun waktu selama itu, pastilah semakin banyak yang berubah. Zaman itu kepedulian orang sudah musnah, yang ada survival of the fittest, ngurusin diri sendiri, yang paling kuatlah yang paling sukses #sukses menurut mereka sendiri.

Orang baik dan yang peduli orang lain sepertinya sudah menjadi dongeng peri di kota kecil seperti Depok. Sepertinya kalau tetep mau bertahan dengan empati, rasanya-rasanya akan hanya menjadi korban, dianggap terlalu lugu, gampang dibohongi, kuno, masuk museum.

Saya setuju kalau empati sudah tidak cocok diimplementasikan lagi saat ini. Nggak perlu lah kita mikirin orang lain, hidup semakin sulit seperti ini, masak harus membebani diri dengan memikirkan orang lain, terserah mereka saja, mereka mau hamil atau nggak, mau duduk atau berdiri, terserah saja.

Sekarang kita memikirkan diri kita sendiri, kesuksesan diri kita sendiri, kalau ingin berhasil dunia dan akherat, waktunya fokus ke diri sendiri. Sutralah mikirin orang lain. Bagaimana caranya?

Meminjam istilah Pak Mario Teguh, jadilah The Best Version of Me. Maksudnya adalah tunjukkan versi, dan kualitas terbaik dari diri kita, untuk siapa? Pastilah untuk diri kita sendiri, bukan dengan maksud untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari orang lain, atau berempati pada orang lain. Oh...tentu tidak. Hanya orang-orang lemah yang mengharapkan empati dari orang lain, jadi jangan GR ya.... 

Jadi kalau contoh kejadiannya di sarana angkutan publik, seperti sekarang yang lagi ramai di socmed. Kalau pas kita lagi duduk, tiba-tiba naik ibu hamil yang kemudian harus berdiri karena tempat duduk sudah penuh. Nggak perlu lah lalu jadi sok peduli dan sok empati. Respon serahkan diri masing-masing, kira-kira kualitas diri seperti apa yang ingin kita miliki, itu lah yang kemudian mendorong bentuk respon yang akan muncul dari diri kita.

Sah-sah saja kalau kita mau tetap duduk, sambil serius membaca koran, mainan hape, mendengarkan ipod, asyik mengobservasi keluar jendela, sah-sah saja. Atau kita memutuskan untuk berdiri dan menawarkan tempat duduk kita untuk ibu hamil itu. Semuanya sah. Respon itulah yang akan membuktikan di level manakah kualitas diri kita sebenarnya.

So, penting ya menjadi The Best Version of Me? Tergantung sih, bukan tergantung orang lain lho, tapi tergantung ke pribadi kita masing-masing. Apakah kita ingin sukses di dunia, lebih-lebih di akhirat nanti, atau tidak? Tapi beda kalau kita ingin sukses tidak hanya di dunia saja melainkan sukses di akhirat juga, insyaAllah. Seperti hadist Rasulullah Saw, berikut ini


Sesungguhnya Allah Swt itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firman Nya: Wahai para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah. Dan Dia berfirman: wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: Ya Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaanya) bagaimana doanya akan dikabulkan." 
(HR. Muslim)


Salah satu pelajaran dari hadist di atas adalah, bahwa Allah Swt itu baik dan hanya akan menerima hal-hal yang baik-baik saja, salah satunya meliputi amalan yang baik. Hidup ini kan kemana lagi selain kembali ke Allah Swt? Sesungguhnya kita berbuat baik itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Kita yang butuh untuk berbuat baik, bukan orang lain, bukan juga Allah. Allah Swt akan tetap menjadi Allah, Tuhan seluruh semesta alam walaupun semua manusia sudah musnah kebaikannya.

Jadi kalau hanya membatasi perilaku baik sebatas berempati saja, sepertinya masih sempit, jadinya kita hanya akan berbuat baik pada ibu hamil saja dong, atau orang-orang tua saja, orang-orang difabel saja? Oh...salah justru tantangan terbesar adalah berbuat baik pada orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Mampukah kita?Meminjam istilah Ustadz Yusuf Mansyur, kita mulai saja dari hal yang kecil, hal yang sederhana. Semoga Allah memberi kemudahan. Wallahualam. 

Bentuk respon kita adalah cermin kualitas diri kita. Be The Best Version of Me.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar