Sabtu, 14 Desember 2013

Dokter Juga Manusia


Rasanya sedikit terlambat menuliskan pengalaman ini, pengalaman yang berhubungan dengan dokter. Beberapa hari lalu media diramaikan dengan gerakan menolak kriminalisasi dokter. Wall facebook saya penuh dengan postingan-postingan dari kawan-kawan yang sikapnya bermacam-macam tentang gerakan tersebut. Ada yang sangat mendukung dan sangat menyayangkan terjadinya kriminalisasi terhadap dokter, ada juga yang sangat mendukung karena merasa pernah dikecewakan oleh profesi yang satu ini, ada juga yang mencoba melihat kasus ini secara obyektif, selain itu ada juga yang tidak perduli. Salah satunya saya mungkin ya he....

Sejenak kemudian saya terpikir untuk berbagi pengalaman saya terkait dengan hubungan saya dengan para dokter yang mungkin bisa memberikan manfaat bagi pembaca. Kisah saya diawali saat saya hamil, anak pertama, tentu saja saya ingin mendapatkan pelayanan dari Rumah Sakit dan dokter yang terbaik, setidaknya menurut kemampuan dan kondisi finansial saya dan suami. Lalu saya dan suami memutuskan untuk memilih dokter kandungan di sebuah RS A dengan dokter A. Kesan pertama saya sangat positif karena saya melihat pasiennya banyak, saat masuk resepsionis pelayanannya juga ramah. Setelah mendaftar, seperti biasa, saya dan ibu-ibu hamil lainnya menunggu untuk dipanggil sesuai nomor antrian pendaftaran. Tidak lama kemudian, pasien mulai dipanggil, anehnya bukan satu persatu, namun 3 nama sekaligus. Saya sedikit heran, tapi ya sudahlah, toh saya belum tahu maksudnya, akhirnya saya dan 2 ibu lainnya masuk ke dalam ruang yang sama, tentu saja saya mengajak suami saya untuk masuk ke ruangan dokter yang sama. Di dalam ada seorang dokter dan seorang asistennya, entah itu bidan atau perawat saya kurang begitu paham. Rupanya kami bertiga ini diperiksa secara bersama-sama di ruang yang sama. Bisa kebayang tuh bagaimana rasa tidak nyamannya suami saya saat itu yang sedang mendampingi saya, lha secara otomatis pula kan suami menjadi saksi saya dan ibu lainnya yang periksa di situ, yang seharusnya itu menjadi privasi masing-masing. Konsultasi juga menjadi tidak nyaman karena konsultasi juga berjamaah, otomatis kita bisa saling mendengar isi keluhan pasien satu dengan yang lainnya, mirip rapar RT jadinya. Itulah saat pertama dan insyaAllah terakhir kalinya saya memeriksakan kehamilan saya di RS itu.

Atas saran dari beberapa orang, saya akhirnya memutuskan pindah ke RS B, Alhamdulillah saya dilayani dengan baik, hak privasi saya terpenuhi. Saya bisa berkonsultasi dengan nyaman dan tanpa terburu-buru waktu. Bahkan beberapa kali pula saya dan suami ngobrol selain. Sedangkan saat sekarang ini, semua bisa masuk sekolah kedokteran asalkan mampu membayar mahal, sebaliknya yang pandai namun tidak memiliki biaya maka kesempatannya akan kecil untuk masuk sekolah kedokteran. Efek sampingnya, karena sekolah kedokteran itu mahal, maka setelah menjadi dokter, para dokter itu meminta bayaran yang mahal pula.Dan titik beratnya bukan lagi pada melayani masyarakat. Begitu menurut pendapat beliau. Setidaknya beliau mau terbuka tentang pendapatnya saat saya dan suami berbagi cerita tentang profesinya.

Pengalaman berikutnya saat saya mengalami ketergantungan pada seorang dokter gigi. Beberapa kali saya ngobrol tentang banyak hal di sela-sela saya kontrol ke tempat praktek beliau. Beliau awalnya bekerja di sebuah RS milik pemerintah, namun kemudian memutuskan untuk keluar dari pegawai negeri sipil yang menurut saya itu keputusan yang patut untuk disayangkan. Bukankah menjadi PNS itu menjadi idaman? Khususnya saya he3....yang saat itu sangat ingin menjadi PNS. Beliau menceritakan bahwa saat bekerja di instansi itu ada perasaan kurang puas. Beliau mengeluhkan obat-obatan yang disediakan RS adalah obat-obatan yang kualitasnya rendah, di sisi yang lain beliau diminta untuk melayani pasien dengan sebaik-baiknya dengan resiko seminimal mungkin. Nah ini yang membuat beliau tidak adil. Jika ada pasien gigi yang parah, yang membutuhkan penanganan ekstra seolah-olah semua beban ada di pundak beliau karena obat seperti bius dan perlengkapan yang ada kurang memadai, sedangkan mau tidak mau, pasien harus ditangani, tidak boleh ditelantarkan. Namun jika dipaksakan dengan fasilitas yang ada, rasanya resikonya terlalu besar. Akhirnya beliau mengambil keputusan, yaitu menyarankan pasien ini untuk datang ke tempat praktek pribadi beliau. Oiya saya tambahkan infonya, beliau ini juga membuka praktek pribadi di tempat lain pada malam harinya. Alasan beliau adalah karena peralatan di tempat praktek beliau lebih lengkap, dan obat biusnya juga lebih bagus sehingga resiko yang ada bisa diminimalisir. Namun isu yang muncul kemudian adalah bahwa beliau ini sedang mempromosikan "produknya sendiri", selain itu muncul isu bahwa pasien yang mau membayar pasti akan dilayani lebih baik dibanding pasien yang gratis. Maksudnya karena pasien yang datang ke RS itu tidak dipungut biaya, sehingga merasa tidak diberi pelayanan maksimal, sedangkan jika ingin pelayanan maksimal maka harus datang ke tempat praktek dokter itu dan membayar mahal. Padahal beliau tidak bermaksud demikian. Oleh karena itulah beliau mengambil keputusan untuk keluar sebagai PNS dan membuka praktek pribadi, beliau merasa lebih maksimal dalam menangani pasien dengan barbagai kondisi.

Pengalaman berikutnya saat anak saya yang saat itu berusia 2 tahu sedang sakit di perjalanan. Saat itu saya dan suami beserta rombongan berwisata ke Bali, sesampainya di sana, anak saya panas tinggi, akhirnya saya dan suami malam-malam mencari RS terdekat, berjalan kaki pula dari hotel tempat kami menginap. Alhamdulillah setelah sempat berputar-putar, sampailah di RS. Anak saya ditangani oleh dokter jaga. Setelah diperiksa perut dan segala macamnya, serta bertanya-tanya kepada saya dan suami, dokter itu kemudian memberikan kami 4 jenis sirup yang berbeda-beda yang harus diminumkan masing-masing 3 kali sendok takar dalam sehari. Jadi kalau ditotal, anak saya harus minum 12 kali dalam sehari (4 jenis sirup x 3 kali sehari). Saya sudah lupa waktu itu diagnosanya apa anak saya waktu itu dan saya juga sudah lupa apa saja jenis sirup yang diberikan. Beberapa hari kemudian sesampainya di rumah, anak saya masih sering panas. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk kembali membawa si kecil ke dokter spesialis anak terdekat. Dokter anak ini sudah tua secara fisik, mungkin usianya sudah 70 tahunan. Beliau memeriksa dengan cekatan lalu memberikan penjelasan tentang kemungkinan sebab-sebab sakitnya. Saya kemudian menunjukkan obat yang telah diberikan pada anak saya, beliau sangat terkejut. Menurut beliau, kok bisa balita dikasih obat sebanyak ini? Menurut beliau, anak-anak itu disuruh minum obat satu saja sulitnya minta ampun, lha ini apalagi 4, lha bagaimana mau masuk, gimana mau sembuh. Beliau berkali-kali mengungakapkan keheranannya dengan ekspresi bermacam-macam. Saya pribadi juga baru ngeh jika anak kecil itu jika harus minum obat cukup diracik untuk sekali minum. Saya juga merasakan sih betapa sulitnya meminta si kecil untk meminum 4 sirup yang berarti 4 kali suap, plus harus 3 kali dalam sehari.Si kecil sudah menangis duluan melihat sendok takar obat, meski sirupnya berasa manis. Akhirnya si kecil diberi resep, yang ternyata berupa 1 macam puyer saja untuk membunuh virus yang ada di tubuh si kecil, dan dihentikan pemberian puyernya jika si kecil sudah sembuh karena puyer itu tidak mengandung antibiotik sama sekali. Beliau juga mengklaim bahwa tidak pernah memberikan resep antibiotik terhadap pasien anak-anaknya. Oiya saya juga pernah secara tidak sengaja mengeluhkan sakit yang saya alami, lalu beliau secara spontan menuliskan resep untuk saya dan menuliskan usia saya dengan angka 17 tahun. Ketika saya coba ingatkan, beliau memberi penjelasan bahwa tentu saja beliau tahu kalau usia saya lebih dari itu, cuma karena beliau adalah dokter spesialis anak tentu bolehnya hanya memberi resep untuk anak-anak yang maksimal usianya 17 tahun. Jadi, ya...jadilah saya menyamar menjadi anak-anak he3.... Oiya Alhamdulillah saya dan anak saya sembuh sebelum obatnya habis. Mungkin selain obat, saya dan anak saya sembuh juga karena merasa nyaman saat bertemu dan ngobrol dengan dokter tersebut, jadi ada rasa optimis pasti sembuh. Disamping pasti atas ijin Allah SWT tentunya.

Pengalaman saya selanjutnya saat pergi ke puskesmas C. Disana saya sangat tidak nyaman, karena saya merasa tidak dilayani dengan baik. Perawat yang jaga berbicara dengan nada membentak, saat saya bertanya sesuatu juga demikian. Mungkin saya mengharapkan standar pelayanan yang terlalu tinggi untuk ukuran puskesmas mungkin. Mungkin??? Akhirnya suami menyarankan untuk pergi ke puskesmas atas saran salah seorang teman yang kebetulan bekerja di puskesmas setempat. Disana saya mendaftar seperti biasa, lalu mengantri seperti pasien yang lain. Kemudian secara tidak sengaja, saya dan suami bertemu dengan teman tersebut. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba beliau mengajak saya dan suami langsung masuk ke ruang periksa. Saya sempat bingung, namun kemudian beliau menjelaskan bahwa tidak apa-apa masuk duluan, karena beliau sudah menyampaikan pada dokter yang jaga, bahwa saya adalah teman beliau. Saya dan suami akhirnya mengikuti ajakan beliau dengan rasa tidak enak hati dengan pasien lain. Berkali-kali suami menjelaskan bahwa akan tetap menunggu giliran seperti pasien lain, namun beliau memaksa. Ya akhirnya mau, tidak mau. Setelah dari puskesmas tersebut, saya dan suami memiliki pemikiran yang sama, bahwa tidak akan kembali ke puskesmas tersebut, insyaAllah. Ya....karena rasa bersalah kami. Semoga Allah SWT mengampuni kelemahan kami.

Itulah segelintir pengalaman manis dan pahit saya, beserta suami dan anak saya saat berhubungan dengan dokter. Saya sendiri optimis diluar sana, di negara Indonesiaku tercinta, masih banyak dokter-dokter yang baik hati, yang bersungguh-sungguh ingin mengabdi, dan mengamalkan ilmu mereka. Doa saya adalah, semoga dokter-dokter baik ini tidak sulit untuk ditemukan oleh orang-orang yang membutuhkan, Amin.

Senin, 04 November 2013

Kegiatan Liburan Sekolah Ara

Powered by TripAdvisor

Pendidikan Ideal?


Berbicara tentang pendidikan yang ideal bagi anak-anak memang tidak akan ada habisnya. Perdebatan panjang tentang standar yang lebih baik maupun metode yang dianggap paling tepat untuk diterapkan dalam kegiatan belajar dan mengajar di sekolah juga tiada habisnya dibicarakan.

Kabar terakhir yang saya dengar tentang pendidikan di Indonesia adalah bahwa tenaga pendidik atau guru kini lebih disibukkan oleh sertifikasi, dan insentif, serta hal-hal semacam itu. Mereka tidak lagi fokus untuk mengajarkan dan menyampaikan ilmu pada anak didiknya yang merupakan tugas utamanya. Atau sibuk mengubah statusnya dari menjadi tenaga honorer menjadi PNS. Saya tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan "pahlawan tanpa tanda jasa" kita dinegeri ini.

Sementara ada kelompok lain, yaitu para orang tua yang kebetulan tinggal di luar negeri untuk sementara karena menempuh pendidikan lanjut. Mereka membawa serta anak-anak mereka yang otomatis anak-anak ini bersekolah di luar negeri pula, mencicipi bagaimana sistem pendidikan di negara yang mereka tinggali. Beberapa diantara mereka kemudian menjadi sibuk membanding-bandingkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di sekolah anak mereka kini belajar. Biasanya hasil akhirnya menyatakan bahwa sistem dan kualitas pendidikan di luar negeri lebih baik daripada sistem dan pendidikan di Indonesia. Sementara ada kelompok lain lagi yang kemudian menyetujui pendapat tersebut, dan turut mencaci maki buruknya pendidikan di negeri ini. 

Namun juga ada kelompok lain, dan lainnya lagi yang mulai jengah dengan pembandingan-pembandingan itu, salah satunya meneriakkan " Sudah banyak orang berpikiran begitu, secara, banyak orang indo yang sekolah di luar negeri ya otomatis anaknya ikut sekolah di negara yang sama. Rata-rata mereka protes dengan sistem pendidikan di Indonesia, tapi kalau tidak ada yang nge-gebrak maka hal itu hanya berputar-putar di seputar akun twitter dan FB. Gimana kalau ada yang memulai, seperti...(menyebut nama salah satu sekolah dasar) gitu?".

Hemm
Bagi saya pribadi dan keluarga, menikmati sistem pendidikan yang berbeda-beda adalah sebuah pengalaman baru, baik bagi anak saya yang menjalaninya langsung, maupun bagi kami, orang tua yang memiliki peran membantu proses belajar anak selama di rumah. Semua sistem pendidikan di tiap-tiap negara memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, tidak melulu kurikulum yang berasal dari luar itu lebih baik dari kurikulum yang dimiliki negara kita.

Saat anak saya masih sekolah di Taman Kanak-Kanak di Indonesia, saya tidak perlu lagi mengajarkan mengaji, gerakan sholat dan bacaannya, shiroh nabi, nama-nama malaikat dan tugas-tugasnya, hafalan surat-surat pendek, dan lain sebagaimana yang merupakan ilmu utama yang harus dimiliki oleh setiap anak muslim. saya hanya perlu membantu seperlunya, karena di sekolahnya, setiap hari guru di sekolah sudah membiasakan dan mengajarkan ke anak-anak tentang itu semua, juga tentang sopan-santun dan adab-adab islami beserta hadisnya. Jadi tugas orang tua saya khususnya saya lebih ringan dalam hal ini. Namun sebaliknya, selama sekolah disini, saya sendirilah yang harus mengajari anak saya tentang itu semua, semampu saya dengan ilmu yang tidak banyak saya miliki. Karena selain di sekolah juga tidak dikenalkan, juga tidak ada TPA yang murah meriah bertebaran di mana-mana. Ada sebuah TPA yang saya tahu, pengajarnya orang-orang Turki, namun mahal (bagi saya), dan waktunya masih belum pas dengan jadwal anak saya (anak saya ikut bis sekolah sehingga pulangnya agak terlambat ikut muter-muter dulu mengantar anak-anak yang lain). Alhamdulillah ada juga TPA buatan teman-teman Indonesia sendiri seminggu sekali, yah lumayan lah meski tidak seintensif waktu di Indonesia dulu yang bisa ke TPA setiap hari.

Di sekolah TK dulu anak saya mendapat target dari gurunya bahwa sebelum lulus dari TK tersebut, semua murid harus sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ketika anak saya masih TK A, sudah mulai saya kenalkan dengan calistung, harapannya bila sudah mendahului target dari sekolah, maka anak saya di sekolah belajarnya bisa lebih santai. Alhamdulillah saat naik ke TK B, anak saya sudah bisa membaca lumayan lancar sehingga guru di sekolahnya pun mengajarinya tidak lagi seintens dan setegang mengajari anak-anak yang belum bisa membaca. Di rumah saya juga lebih santai, saya tinggal menumbuhkan minat bacanya agar kemampuan bacanya semakin lancar, misalnya dengan membelikannya buku-buku yang menarik, majalah, atau sesekali saya tunjukkan koran.

Selama disini, saya agak kurang paham dengan target-target sekolah, saya juga bingung dengan materi pelajaran disini, maka saya perlu mengambil kursus "Keeping Up with The Kids", untuk membantu anak saya terkait pelajaran di sekolah. PR anak saya biasanya selama ini yang sering diberikan oleh gurunya adalah membaca, seminggu biasanya 2 hingga 3 kali guru memberikana buku baru untuk dibaca di rumah, dan orang tua menulis di buku diary sekolah anak tentang PR membaca yang sudah dilakukan anak. Sesekali ada PR berhitung, namun jarang sekali, dalam satu bulan belum tentu ada PR menghitung ini. Di lain sisi saya sebagai orang tua merasa santai, dan bahagia karena tidak terlalu disibukkan dengan pelajaran anak he3....tapi dilain sisi sebenarnya bingung, apa saja sih target belajar disini sebenarnya.

Oiya pelajaran agama disini sifatnya umum, semua agama dikenalkan pada anak-anak, namun yang lebih banyak tentu saja kristiani sebagai mayoritas agama di sini. Jadi jangan kaget jika tiba-tiba anak saya bertanya siapa itu sinterklas, siapa itu yesus, dan segala macamnya, membuat saya kelabakan karena harus memberikan penjelasan yang hati-hati agar dapat diterima oleh nalarnya. Saya juga, beserta suami tentunya, bekerja keras mengenalkan berbagai macam hari perayaan yang ada dalam agama Islam, karena tentu saja tidak ada di sekolahnya. Kami sengaja membuat pesta kecil-kecilan, atau membelikannya baju baru atau mainan baru saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, agar anak saya lebih terkesan dengan perayaan agamanya sendiri daripada perayaan agama lain. 

Saat ini saya kurang begitu paham dengan kurikulum di Indonesia karena menurut kabar dari teman saya, tahun ini ada kurikulum baru, kurikulum 2013, saya tidak tahu apa perbedaannya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Namun yang pasti tidak perlu berendah diri dengan sistem pendidikan di negara kita, tidak perlu membandingkan secara ekstrim dengan sistem pendidikan di negara lain, saya kira setiap negara memiliki kebutuhannya sendiri-sendiri dan lebih mengetahui sisi-sisi mana yang perlu diperbaiki. Masih banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang berperi ke "anak" an, yang memahami dan mengutamakan kebutuhan dan perkembangan anak dalam belajar, dan kebutuhannya untuk bermain, berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing.


  

Selasa, 10 September 2013

Alnwick Festival


Copy of alnwick garden - slideshow

Saya sedang uji coba membuat slide show dari kumpulan foto-foto saat tampil di festival Alnwick. Dan inilah hasilnya. Selamat menikmati...

Kamis, 05 September 2013

Museum Trinil


Lebaran tahun lalu kami dengan keluarga besar memutuskan untuk berkunjung ke tempat-tempat pariwisata di wilayah ngawi dan sekitarnya kebetulan saat lebaran tahun itu kami semua sedang berkumpul di rumah keluarga Maospati. Setelah bingung memilih tujuan, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi museum Trinil. Saya pribadi sangat senang dan merasa penasaran dengan museum yang satu ini karena nama museum ini saya ketahui dari pelajaran sejarah saat saya di SMP/SMA karena penemuannya yang sangat luar biasa terutama kaitannya dengan teori evolusinya Darwin. Yah...penemuan tulang manusia purba yang dianggap sebagai nenek moyang manusia modern sekarang ini. Yang berikutnya menjadi pro dan kontra di kalangan ilmuwan sendiri.


Kembali ke cerita saya. Sepanjang perjalanan dari Maospati menuju ke museum ini, kami semua bisa dibilang nekat, alias nekat berangkat meski belum tahu pasti letak tempat museum berada. Kami mengandalkan petunjuk jalan yang biasanya ada di tiap perempatan jalan. Anggapan kami, bahwa setiap tempat wisata biasanya ada petunjuk jalan yang menunjukkan ke arah wisata tersebut seperti halnya saat kami ke Borobudur, apalagi museum ini kan juga termasuk museum terkenal hingga ke mancanegara, masih menurut anggapan kami. Namun dalam kenyataannya kami kesulitan menemukan petunjuk ke arah museum ini. Akhirnya salah satu saudara mencoba mencari lokasi museum dengan bantuan GPS, ternyata alat ini juga tidak mampu mendeteksi lokasinya.


Pencarian dilanjutkan dengan bertanya ke pemilik-pemilik warung di tepi jalan, berkali-kali mobil kami berhenti di tepi jalan setiap melihat ada warung makan yang agak ramai dan semuanya menjawab tidak tahu, dan malah balik bertanya di desa mana meseum itu berada, atau di jalan apa. Niat kami mulai goyah karena anak-anak juga sudah mulai bosan dan kepanasan berada di dalam mobil. Salah seorang keluarga kami kembali mencari info melalui google meski jaringan internet tersendat-sendat. Mengetik dengan key word berbahasa Indonesia untuk mencari alamat museum Trinil, teryata tidak menemukan hasil, akhirnya key word di rubah menggunakan bahasa Inggris, ternyata banyak hasil yang muncul, banyak web asing yang malah menuliskan tentang museum ini, dan kami pun menemukan alamatnya di sana, daerah Kedunggalar.


Kami putar balik menuju ke sana karena kita sudah berjalan terlalu jauh dari kawasan tersebut. Sesampainya di wilayah itu, kami berharap menemukan plang besar tentang museum, ternyata tidak juga ada. Kami kembali bertanya pada warga sekitar. "Di ujung sana mas, ada gapura berwarna hitam, ada jalan masuk, lurus saja mengikuti jalan beraspal", begitu penjelasan salah seorang warga. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan, kali ini mobil diperlambat agar dapat menemukan gapura yang dimaksud, kami tetap tidak menemukan, sementara anak-anak semakin riuh.


Kami berhenti di sebuah toko souvenir kayu-kayu an. Kali ini penjaga tokonya mengatakan bahwa gapura yang dimaksud sudah terlewat, sehingga kami harus kembali putar balik arah. Hufffts......kami semua naik mobil lagi, kali ini lajunya lebih pelan lagi. Akhirnya kami menemukan gapura agak besar, tapi kok berwarna biru? Dan jalannya bukan aspal melainkan batu-batuan. Salah seorang dari kami kemudian menanyakan kepada warga setempat, dan bahwa betul jika ingin ke museum Trinil bisa juga lewat jalan ini, tinggal ikuti saja jalan besar ini sampai menemukan jalan beraspal, jalan beraspal itu menuju ke lokasi museum, begitu jelasnya.


Akhirnya, setitik harapan muncul di wajah kami setelah berputar-putar di jalan raya. Debu mulai beterbangan begitu ban mobil kami melewati jalanan itu. Laju mobil semakin melambat karena terhalang debu dan jalanan berbatu yang membuat mobil berguncang-guncang. Kami belum juga menemukan jalan beraspal itu, semua mulai ragu. Saya sendiri karena selain mulai mengantuk dan letih, akhirnya lebih memilih menikmati pemandangan di kanan kiri jalan melalui kaca jendela mobil. Sawah terhampar luas, disambung dengan rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari papan-papan kayu dengan arsitektur sederhana khas rumah adat Jawa zaman dulu, dengan lantai tanah, dan atap yang tidak terlalu tinggi. Di depan rumah rata-rata terdapat jemuran, namun bukan baju, melainkan hasil panen seperti padi-padi an, dan perlatan bertani biasanya juga teronggok di samping depan pintu. Beberapa anak-anak kecil bermain-main di depan rumah, tanpa alas kaki. Beberapa orang dewasa juga ada, duduk mengobrol, dan perempuan-perempuan yang mencari kutu.


Tidak ada rumah besar disepanjang jalan itu, bertembok, ataupun bercat warna-warni, semuanya warna kayu natural. Tidak sadar hingga kami menemukan jalan beraspal, tidak luas jalannya, namun sepanjang jalan beraspal ini ada petunjuk yang menuliskan jarak yang masih harus kita tempuh ke museum yang dimaksud. Petunjuk itu berupa papan kayu kecil, ditulis dengan cat warna hitam, yang dipaku sedemikian rupa, asal berdiri. Kayu itu juga nampak mulai rapuh terkena hujan dan panas, dan kadang panahnya menuju ke bawah, nampak pakunya yang telah goyah untuk menahan arah panah ke arah yang tepat.


Sampailah kita di museum yang dimaksud, gapura besar menyambut sebagai pintu masuk memasuki wilayah museum, di balik gapura itu terdapat patung gajah berukuran besar sekali, berwarna hitam, kemudian ada semacam balai yang cukup luas dengan penyangga kayu, dan beberapa bangunan di sekelilingnya.Awalnya kami mengira bangunan itu adalah museumnya, ternyata bukan. Bangunan itu semacam kantor, dan ada beberapa orang di dalamnya. Kedatangan kami disambut oleh seorang laki-laki bertubuh kurus berseragam coklat. Beliau lah yang kemudian mengantar kami menuju ke museum yang letaknya agak masuk di belakang. Saat itu pengunjungnya hanya kami, tidak ada lagi pengunjung yang lain, entah memang setiap harinya sepi pengunjung atau karena alasan lain, kebetulan memang hari itu Jumat dan waktu sholat Jumat akan segera tiba.


Bangunan museum ternyata tidak terlalu luas ataupun beruang-ruang, melainkan hanya satu ruangan. Ketika kita berada di depan pintu masuknya, mata kita bisa langsung menyapu mengamati seluruh koleksi yang ada di ruangan tersebut. Saya merasa heran, apakah koleksi museum memang sedikit. Di dalam museum itu terdapat tulang manusia maupun binatang-binatang purba. Yang paling saya kagumi dan menarik perhatian saya tentu saja tulang manusia utuh "homo erectus" (manusia yang berjalan tegak) yang diklaim ditemukan oleh Eugene Dubois, seorang peneliti Belanda. Saat saya mendekati letak tulang itu, terdapat tulisan nama disana, saya lupa namanya, yang jelas itu adalah nama seorang petani warga setempat, yang ternyata pertama kali menemukan tulang tersebut. Jadi penemu sebenarnya adalah beliau, sayang sekali saya tidak mengabadikan nama petani itu. Lalu kenapa yang terkenal bukan beliau, melainkan peneliti Belanda itu? Yah karena petani itu hanya menemukan, lalu melaporkannya ke yang "berwenang", dan yang meneliti selanjutnya yang akhirnya mampu mendefinisikan jenis tulang apa yang telah berhasil ditemukan, begitu penjelasan dari bapak berseragam coklat yang memandu kami.


Saya sangat kagum dengan penemuan tulang-tulang unik itu, sungguh tidak ternilai harganya bagi kekayaan negeri ini. Namun saya merasa sangat kecewa saat pemandu kemudian menjelaskan bahwa semua tulang-tulang manusia yang ada di museum itu seluruhnya adalah hanya tiruan saja atau buatan, dan bukan tulang asli yang telah ditemukan. Kami hampir tidak mempercayainya karena memang penampakannya sangat mirip dengan tulang yang terkubur jutaan tahun yang lalu. Pemandu menjelaskan lagi bahwa semua tulang yang diduga berasal dari manusia purba dibawa ke negara Belanda oleh pemerintah Belanda pada zaman itu, dan yang disisakan disini hanya tulang-tulang binatang purba saja itu pun tidak lengkap, misalnya gajah, hanya gadingnya saja, atau gigi dari kerbau, tidak ada yang utuh. Saya merasa sangat menyayangkan kenyataan itu.


Pemandu kemudian menjelaskan kepada kami lagi, kali ini tentang penamaan museum. Kenapa disebut dengan Trinil, karena tulang-tulang itu ditemukan di wilayah yang diapit 3 sungai. Tri artinya tiga, dan nil artinya sungai. Salah satu sungainya adalah sungai Bengawan Solo. Beliau juga menawarkan kepada kami jika kami ingin melihat salah satu tempat ditemukannya tulang-tulang itu yang memang tidak jauh dari museum itu. Namun kami menolak karena waktu sholat Jumat akan segera tiba. Tak lama kemudian kami semua berpamitan pada pemandu yang baik hati tersebut.


Cerita pemandu tentang berbagai sejarah manusia purba lumayan mengobati kekecewaan saya terkait fakta keberadaan tulang-tulang asli manusia purba itu. Saya mengagumi kekayaan sejarah yang dimiliki oleh negeri ini. Sejarah tentang kisah manusia pada masa lampau, jutaan tahun yang lalu, yang hingga kini pun masih banyak misteri yang belum terungkap.


Sepanjang perjalanan pulang, kami mengikuti jalan yang beraspal, dan bukan jalur saat kami berangkat. Tidak perlu ragu lagi kali ini karena jalan beraspal ini memang diperuntukkan menghubungkan jalan raya antar provinsi dengan lokasi museum yang lokasinya di pelosok dan jauh dari jalan raya. Ini memudahkan untuk pengunjung seperti kami. Arah jalan beraspal itu memang berakhir di sebuah gapura besar berwarna hitam yang telah disebutkan oleh pemilik warung di awal cerita tadi. Pantas saja kami kesulitan menemukan gapura tersebut karena dalam bayangan kami gapura itu bertuliskan museum Trinil atau paling tidak ada penunjuk arahnya. Namun gapura itu hanya seperti gapura di ujung gang suatu perkampungan. Selain itu sepanjang perjalanan berangkat dan pulang, kami tidak menemukan angkutan umum yang menuju ke museum, saya jadi penasaran apakah memang benar-benar tidak ada akses angkutan umum untuk menuju ke lokasi museum? Jika benar demikian semakin menyedihkan lagi nasib museum ini, akan semakin kurang dikenal oleh warganya sendiri. Semoga dugaan saya tidak benar.


Jika ada kesempatan lagi, saya ingin berkunjung kesana, mengabadikan nama-nama warga setempat yang pertama kali menemukan tulang-tulang itu. Atau bersilaturahmi dengan bapak pemandu yang sederhana dan baik hati itu. Yang telah dengan sabar menceritakan sepenggal sejarah penemuan-penemuan yang berharga, meski diriringi riuhnya anak-anak kami yang bermain-main, dan berceloteh tentang diorama-diorama manusia purba. Sampai jumpa lagi Trinil.

Selasa, 03 September 2013

Analisa Tulisan Tangan, Fakta atau Fiksi?


Graphology.
Saat saya menempuh kuliah S1, saya tidak mendapatkan mata kuliah tentang ini, saya hanya membacanya sesaat di buku, namun belum cukup tertarik. Ditambah lagi ada pengalaman buruk yang saya alami terkait dengan ilmu menganalisa tulisan tangan ini maka semakin benci saya dengan ilmu ini.

Awalnya waktu itu ada seorang teman lelaki, entah dia benar-benar menguasai ilmu itu atau entah dia sok tahu karena hanya pernah membaca buku tentang analisa tulisan tangan atau entah bagaimana dia mendapatkan informasi itu. Saat itu saya sedang menyalin catatan kuliah saya, dia yang sedang duduk di depan saya tiba-tiba mengomentari tulisan saya, yang katanya miring ke kiri, ujung tulisan runcing, dan sebagainya, dan sebagainya. Awalnya saya biarkan saja, namun begitu mulai mencoba menganalisanya, yang menurut saya sudah masuk ranah dalam pribadi saya, saya mulai tersinggung nih. Yah pasti dong tersinggung lha wong isi analisanya nggak ada yang positif, saya merasa marah untuk menutupi malu dan gengsi. Saya cuma komentar "sok tahu", titik, padahal dalam hati, ini orang nglunjak banget mengungkap kelemahan-kelemahan orang di depan orangnya langsung, meski cara mengungkapkannya sopan sih, tapi menusuk.

Saya masih tidak percaya dengan analisa itu, meski waktu itu saya merasa ditelanjangi kelemahan dan kekurangan saya. Masih dalam rangka tersinggung, saya mencoba merubah tulisan tangan saya dengan pandangan bahwa karena ilmu ini berhubungan dengan tulisan tangan, maka kalau tulisan tangan saya rubah, maka otomatis hasil analisanya pasti berubah dong. Berhari-hari kemudian saya berlatih menulis dengan model tulisan yang baru, agak kaku sih, dan menulisnya jadi agak lama, tapi tulisan saya jadi lebih bagus dan lebih rapi daripada tulisan saya yang sebelumnya (minimal menurut saya).

Ternyata tidak semudah itu, tulisan berubah, otomatis hasil analisa berubah, justru perubahan itu bisa memunculkan pertanyaan dan analisa baru. Begini, karena saya sudah terbiasa bertahun-tahun dengan gaya tulisan yang lama, maka saat saya menulis cepat maka gaya tulisan yang lama yang dominan, meski ketika saya sadar, saya segera mengubah ke gaya tulisan yang baru, namun tetap saja ada kecenderungan kembali lagi ke gaya tulisan lama, apalagi saat saya menulis dengan tergesa-gesa, sudah lupa dengan gaya tulisan yang baru. Nah saat dilihat hasil tulisan keseluruhan, jadilah tulisan saya terlihat tidak konsisten, terkadang begini, terkadang begitu. Nah itulah yang menimbulkan hasil analisa yang baru, bukannya positif malah sebaliknya, duh dibikin pusing dengan tulisan tangan.

Tidak hanya sekedar bentuk tulisan saja yang dianalisa dalam ilmu ini, melainkan juga goresan pena atau pensil, dalam tidaknya, tebal tipisnya, lurus tidaknya tulisan, dan hal-hal detail lainnya. Lama-lama saya penasaran juga, mulailah mencari buku-buku tentang graphology.

Beberapa tahun kemudian, laki-laki itu kini menjadi suami saya. Maka saya sudah tidak gengsi lagi dong dengan berbagai macam analisa yang dulu pernah dia ungkapkan. Beda dulu beda sekarang he3.....
Setelah menikah, saya sempat bekerja di suatu instansi/lembaga/kantor/ boleh disebut apa aja deh. Namanya juga tempat kerja, pasti ada ada yang namanya konflik, entah dengan teman, atasan, atau sampingan he3... Konflik ini kadang amat mengganggu keseharian saya, jadi kepikiran begitu maksudnya, kadang juga enggan ngobrol atau ketemu dengan yang bersangkutan. Sampai suatu hari, saya mendapat memo berupa tulisan tangan dari seseorang itu. Kesempatan itu tidak saya sia-sia kan, saya bawa memo itu pulang, lalu saya tunjukkan kepada suami saya.Saya tanya detail tentang tulisan-tulisan itu, dan bagaimana suami saya mendapatkan kesimpulan itu, seperti bagian tulisan yang mana yang menggambarkan kecenderungan tertentu, dan bagaimana bisa sampai ke arah kesimpulan akhir.

Banyak sekali kecocokan antara apa yang suami saya ungkapkan dengan keseharian yang saya lihat ketika saya bekerjasama dengan seseorang itu. Saya tanya juga, kira-kira hal apa saja yang bisa membuat seseorang itu bisa memiliki karakter seperti itu, pasti ada alasan jangka panjang juga dong yang mendasari, bukan ujug-ujug muncul hanya gara-gara bentuk tulisan yang begini begitu. Kemudian suami saya memberi banyak alternatif jawaban dan gambaran latar belakang munculnya karakter dan perilaku yang mungkin saya anggap kurang menyenangkan dari seseorang itu.

Dari sekian banyak jawaban yang diberikan suami saya (tentu saja ini hanya berupa kemungkinan-kemungkinan yang perlu di kroscek langsung ke yang bersangkutan), pandangan saya langsung berubah terhadap orang itu, yang awalnya saya merasa jengkel karena saya merasa sering disakiti, akhirnya berubah menjadi rasa kasihan. Saya menjadi lebih paham mengapa seseorang itu berperilaku demikian, yang tidak lain bukan diri saya yang menyebabkan masalah, namun lebih karena banyaknya tekanan yang dia alami, dan dia berusaha untuk melepaskan segala tekanan itu, namun dengan cara yang kurang tepat.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari suami, dan melihat keseharian dari seseorang tersebut, saya menjadi rileks, tidak setegang sebelumnya. Saya menjadi lebih terbuka juga dengan dia, saya berani bertanya langsung jika ada perilakunya yang kurang pas terhadap saya. Atau terkadang hanya saya abaikan saja jika masalahnya terlalu sepele, tidak perlu semuanya dikonfirmasikan.

Hasil positf dari graphology ini, yang awalnya dulu saya sempat anti pati, saya sekarang jadi lebih mudah dan terbuka memahami dan melihat perbedaan karakter tiap orang. Dan tentu saja mempengaruhi saya dalam memperlakukan orang lain, juga tidak mudah sakit hati jika ada seseorang yang berperilaku kurang menyenangkan. Karena semua itu pasti ada sebab dan latar belakangnya, selama kita tetap berusaha berperilaku baik terhadap orang lain maka berpikir positif saja, masalah bukan muncul dari kita tapi masalah memang sudah ada dalam diri seseorang itu, cuma mungkin kita terkena apesnya saja, yaitu kecipratan jadi pelampiasannya he3...

Waspadalah....waspadalah....

Jadi graphology fakta atau fiksi? Benar-benar bisa dimanfaatkan untuk mengetahui karakter orang lain atau sekedar tebak-tebak "sok tahu"? Lebih baik dicoba sendiri saja jika penasaran :-) 


Kamis, 29 Agustus 2013

Retardasi Mental vs Jatuh Cinta


Ketika saya SMA, salah seorang guru saya bercerita tentang seorang gadis berusia 20an ke atas, berparas cantik. Dia juga sudah memiliki calon suami. Sepanjang masa pendekatan dan pertunangan, semuanya lancar-lancar saja, hingga akhirnya terjadilah sebuah pernikahan. Gejala yang sedikit di luar dugaan adalah saat malam pertama, si gadis, yang kini telah menjadi istri, tidak mau "dipeluk-peluk" oleh pria yang kini adalah suaminya. Awalnya si pria menduga bahwa si gadis ini hanya menggodanya, namun semakin agresif si pria, semakin marah pula si gadis.

Beberapa waktu berlalu dengan kejadian yang sama, si gadis sangat marah sekali tiap kali "didekati". Akhirnya si pria memberanikan diri bertanya kepada ibu si gadis terkait peristiwa malam pertama dan malam-malam selanjutnya. Si ibu dengan agak berat hati akhirnya menceritakan bahwa sesungguhnya anak perempuannya mengalami retardasi mental, namun tidak berani mengungkapkan sebelum-sebelumnya karena khawatir, si pria akan menolak menikahi anak gadisnya jika mengetahui kondisi yang sebenarnya. Akhirnya si ibu merasa bersalah dan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada si pria, apakah akan melanjutkan mahligai perkawinannya atau menceraikan anak perempuannya.

Si ibu juga perupaya melakukan komunikasi dengan anak perempuannya. Si Ibu bertanya, apakah dia kini membenci pria yang telah menjadi suaminya. Si anak menjawab, bahwa dia tetap menyukainya. Lalu si ibu juga menanyakan mengapa dia selalu marah jika suaminya mendekatinya. Anak perempuannya menjawab, bahwa suaminya mendekatinya saat dia ingin tidur, dia tidak ingin diganggu, dia ingin bersantai seperti biasa, seperti hari-hari sebelum menikah. Menurutnya, pria yang disukainya itu kini sering mengganggu dirinya. Lalu ibunya bertanya lagi tentang apa itu pernikahan menurutnya, si anak menjawab bahwa pernikahan itu adalah memakai gaun yang cantik, berdandan, dan duduk di pelaminan dan tidak lebih dari itu. Si ibu juga berupaya memberikan gambaran tentang pernikahan serta hak dan kewajiban suami istri, namun anaknya bersikeras bahwa dia tidak mau dan tidak mengerti kenapa harus begitu. Si ibu pasrah mendengarkan jawaban putrinya.

Selanjutnya guru saya tidak menceritakan lagi kelanjutan kisah suami istri, apakah kemudian bercerai, atau harus berjuang menjalani hari demi hari.

#################################################################

Kejadian selanjutnya saat saya magang di sebuah sekolah khusus bersama teman-teman kuliah. Sekolah itu terdiri dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Dengan kondisi murid yang bermacam-macam keunikannya, serta guru-guru yang sabar dan selalu ceria menghadapi tingkah polah murid-muridnya.

Waktu kami di briefing oleh guru, saat saya sedang konsentrasi mendengarkan arahan dari guru sekolah tersebut, tiba-tiba teman saya menyodorkan selembar kertas terlipat 2. Lalu spontan saya membukanya, tidak ada tulisan di sana, hanya ada gambar bulat, segituga, dan beberapa persegi panjang dan lingkaran di ujungnya. Saya menanyakan apa maksudnya, teman saya menjawab kalau kertas itu dari anak yang duduk di ujung sana, katakanlah namanya Radit, selanjtnya baru aku tahu bahwa Radit berusia 15 tahun dan mengalami retardasi mental. Ketika saya melihat ke arahnya, Radit segera melambaikan tangannya. Spontan teman-teman saya senyum-senyum.

Ternyata maksud gambar yang ada di kertas itu adalah gambar tentang saya yang dibuat Radit, lingkaran itu wajah saya, segitiga diluar lingkaran itu kerudung saya, dan persegi panjang itu adalah badan, tangan, dan kaki saya he...he...he....

Saat saya mau pulang dari sekolah itu, tiba-tiba saja Radit mendekati saya, apakah saya ada waktu luang malam minggu nanti. Dia berencana mengajak saya menonton di bioskop. Saya tidak langsung menolak, namun semakin ingin tahu dan penasaran apa saja rencananya. Lalu saya melontarkan beberapa pertanyaan lagi, seperti naik apa kesana. Dia menjawab pergi ke bioskopnya naik mobil. Apakah Radit bisa menyetir, lalu dia menjawab tidak. Papa nya lah yang nanti akan menyetir, nonton bioskopnya juga ramai-ramai, menurutnya nanti akan ada papa, mama, dan kakak-kakaknya. Dan rencananya saya akan dikenalkan oleh semua anggota keluarganya.

Saya bertanya, kenapa harus berkenalan, dia menjawab karena dia sudah menceritakan tentang saya sebagai seseorang yang disukainya, dan ingin agar keluarganya tahu tentang saya. Dalam hati antara penasaran dan cemas. Akhirnya saya memilih untuk berinteraksi secara aman dengan Radit, alhamdulillah lama-kelamaan Radit tidak lagi sering menghampir-hampiri saya dan mengajak nonton bioskop karena selalu saya alihkan pembicaraan ke topik yang lain. Hingga magang selesai, alhamdulillah semuanya lancar.

#################################################################

Dari kedua gambaran di atas terlihat bahwa anak dengan retardasi mental juga memiliki ketertarikan dengan lawan jenisnya. Mereka juga ingin mengekspresikan rasa ketertarikannya terhadap lawan jenisnya. Kebutuhan akan hal ini tetap tumbuh seiring pertumbuhan fisiknya. Hanya saja tentu ada perbedaan-perbedaan antara apa yang dialami mereka yang normal dan mereka yang mengalami retardasi mental, diantaranya yaitu;

~Pemahaman
Pada remaja retardasi mental pemahaman akan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis tentu saja berbeda dengn orang normal. Perbedaan ini salah satunya dipengaruhi oleh kemapuan berfikirnya. Penderita retardasi mental akan sulit memahami sesuatu yang sifatnya sangat konseptual dan rumit. Padahal dalam sebuah hubungan hal yang biasa dan mudah saja bisa sangat menyulitkan buat orang yang normal. Permasalahan yang sebenarnya mudah solusinya bisa menjadi rumit jika perasaan sudah mengambil peranan. Seperti misalnya contoh pada peristiwa yang pertama bahwa si gadis hanya memahami pernikahan sebagai sebuah prosesi belaka dan tidak ada lagi proses di belakangnya seperti melayani suami, berperan sebagai seorang istri, menantu, dan lain sebagainya.

~Ekspresi
Pemahaman yang mereka terima tentu saja akan mempengaruhi dalam berperilaku, hal ini bagaimana seorang penderita ini mengungkapkan perasaan atau rasa suka yang muncul terhadap lawan jenisnya ataupun bagaimana cara mereka memperlakukan orang yang mereka sukai. Pada kasus Radit, remaja 15 tahun yang duduk di bangku kelas 1SMP itu memilih menggambar orang yang dia sukai lalu memberikan hasilnya kepada seseorang itu. Radit tidak merasa rendah hati dengan hasil karyanya. Sedangkan di lain pihak ada saja remaja yang mengambil jatah SPP nya untuk membelikan sesuatu yang "wah" bagi seseorang yang disukainya. Sementara Radit cukup dengan mempersembahkan karya sederhananya, yang menurutnya sudah cukup untuk mewakili rasa sukanya.

Dalam kehidupan bermasyarakat seperti di negara kita ini, dimana norma-norma kesopanan dan kesusilaan masih melekat, diharapkan mereka juga dapat menaati dan tidak melanggar norma-norma ini. Sebenarnya bukan hanya mereka saja yang diharapkan demikian, namun pada kasus retardasi mental ini dikawatirkan karena ketidaktahuan mereka tentang nilai-nilai dan kemampuan anggota tubuhnya sehingga mereka terjerumus dalam pergaulan bebas, atau hamil di luar nikah. Atau bisa saja mereka menjadi korban pelecehan seksual yang tidak mereka sadari akibat pemahaman mereka yang rendah.

Oleh karena itulah pendidikan seks dibutuhkan lebih intens bagi mereka, terutama dari orang tua dan orang-orang di sekeliling mereka. Mereka banyak belajar dari apa yang mereka amati sehari-hari, seperti contoh kasus di atas, si gadis melihat pernikahan sebagai pesta, memakai gaun indah, dan duduk di pelaminan, selebihnya tidak tahu apa yang ada di balik konsep perkawinan itu sendiri. Sementara Radit memilih mengajak menonton bioskop bersama keluarga, karena si kakak juga pernah melakukan hal yang demikian, sehingga menurutnya begitulah cara berperilaku jika dia menyukai seseorang.

Pendidikan seks juga dibutuhkan agar mereka mampu mengontrol dorongan-dorongan seksual yang dianggap tabu jika harus dipertontonkan di depan umum dan menyalurkannya secara tepat. Dikarenakan banyak media-media yang dengan gampangnya mempertontonkan adegan-adegan yang kurang terpuji atau yang sebaiknya tidak perlu digambarkan secara detail dan gamblang sedemikian rupa yang dapat menyebabkan salah paham. Artinya bisa saja mereka meniru adegan tersebut karena ada contoh di "depan mata", dan tidak "terjadi apa-apa". Padahal kenyataannya tidak demikian.

#################################################################

Saya tidak tahu lagi kabar tentang Radit selanjutnya setelah saya tidak lagi magang di tempatnya bersekolah, dia apakah patah hati? Atau sudah melupakan saya? Atau bisa jadi dia menemukan kakak magang lain yang lebih disukainya. Karena belakang saya mengetahui bahwa sebelum Radit menyukai saya, ternyata dia juga menyukai teman saya yang sebelumnya juga magang di sana, nah lho....benar kah? Kok jadi saya yang patah hati hik...hik... :-p

Minggu, 25 Agustus 2013

Keciput Salah Arah


Kemarin saya memutuskan untuk membuat keciput, kue zaman saya kecil dulu. Ide ini muncul dari obrolan saya dengan seorang teman tentang makanan kecil, akhirnya muncullah kata keciput, dan kata gampang, gampang membuatnya maksudnya. Selain itu semua bahan sudah tersedia di rumah, terutama wijen yg beberapa bulan lalu saya beli di sebuah toko China.

Langkah berikutnya adalah mengunjungi mbah google, mencari resep di internet. Resep pertama yang saya temukan sedikit ribet karena cara memasaknya harus digoreng 2 kali agar hasil keciputnya renyah. Saya memutuskan untuk mencari resep lain, akhirnya saya menemukan resep dan cara memasak yang sederhana.
Saya mengambilnya dari majalah Femina,
Bahannya antara lain:
~ tepung beras ketan 200 gr
~ telur 3 butir
~ gula 4 sendok makan
~ garam 1/2 sendok teh
~ wijen
~ minyak untuk menggoreng

Setelah menyiapkan dan mencampur semua bahan kecuali wijen dan minyak, mulailah saya menguleni adonan, tapi setelah dirasa, hasilnya sangat encer sekali sehingga tidak mungkin untuk dibentuk bulat. Karena merasa hanya mengandalkan resep saja kurang berhasil, berikutnya menggunakan kekuatan insting, semoga instingnya benar ya...

Saya memutuskan untuk menambahkan tepung ketan dan gula hingga adonan kalis dan mudah dibentuk. Nah selesai, giliran menyiapkan wajan dan minyak, serta taburan wijen. Adegan dilanjutkan dengan membentuk adonan bulat-bulat seperti kelereng. Mbak Ara ikut membantu, tapi bulatannya sebesar bola bekel, awalnya saya biarkan, lalu saya ingatkan lagi agar bulatannya kecil-kecil saja, tentu saja saran saya diselingi beberapa pertanyaan dengan awalan "mengapa", mengapa begini, mengapa begitu, wah urusan bisa jadi seribet bikin KTP di kelurahan nih.

Ok proses bulat-bulat lancar, sekarang menggoreng. Setelah minyak cukup panas, saya masukkan adonan demi adonan, setelah tak lama kemudian, satu persatu adonan mulai mengambang tanda matang. Lha, setelah dilihat penampakannya, tuh kenapa keciputnya tersenyum ya? Alias merekah seperti kue onde-onde ketawa. Dalam hati, ndak papa lah, toh cuma penampakannya saja barangkali.

Setelah matang, saya angkat keciput dari wajan, lalu saatnya mencoba. lalu apa yang terjadi? Ternyata rasanya pun seperti onde-onde ketawa, tidak renyah, melainkan sedikit lunak. Wah keciputnya salah arah nih, tujuan akhirnya kan harusnya jadi keciput, kenapa jadi onde-onde ketawa mini? Ehm...lain kali resep memasaknya tambah GPS, biar tidak salah arah.

Alhamdulillah dua customer setia saya bilang enak.....tanpa syarat he3....

Sabtu, 24 Agustus 2013

Menjadi Orang Baik Itu Harus Berani Nekat


Saya mendengar kata-kata dari sebuah film berjudul Di Dalam Mihrab Cinta, yah kurang lebih begitulah ungkapan yang mengena bagi saya. Ternyata nekat juga diperlukan ketika kita berniat ingin menjadi orang baik. Saya mengira bahwa kata nekat itu identik dengan perilaku yang kurang baik, misalnya yang sering saya dengar adalah bondo nekat dalam hal ingin menonton pertandingan sepak bola meski ndak ada duit buat beli tiket maupun transportasi, sehingga memaksa masuk stadion meski tak bertiket. Atau contoh lain nekat maling, nekat nyopet, subhanallah.

Nekat menjadi orang baik. Dalam hati saya bertanya, seperti apakah wujudnya? Terutama dalam kondisi sehari-hari ini saja, tidak perlu muluk-muluk karena dalam keseharian saya saja, saya masih sering mengomel terhadap sesuatu, berpanjang-panjang pikiran jika mengambil keputusan, bahkan dalam hal senyum atau sapa sekalipun masih mikir dulu antara iya dan tidak. Lho kok?

Misalnya saja suatu hari saya mengajak senyum dan mencoba menyapa orang lain, eh ternyata orang itu cuek bebek, padahal saya yakin sekali bahwa orang itu kemungkinan besar melihat saya, dan tahu saya. Akhirnya di pertemuan berikutnya saya jadi ragu antara menyapa orang itu atau tidak, meski orang itu bisa jadi posisinya saat itu sedang berdekatan dengan saya, tapi saya jadi enggan menyapanya. Khawatir sakit hati aja, karena embel-embelnya jadi panjang, saya jadi menggerutu, dosa lagi.

Atau misalnya saja saat sedang berjalan bertiga bersama kawan. Kebetulan kedua kawan itu sedang terlibat pembicaraan seru, dan entah sengaja atau tidak, mereka tidak melibatkan saya dalam pembicaraan itu, meski sudah mencoba nimbrung ternyata belum mampu "masuk" juga, jadilah outgroup secara sengaja ataupun tidak. Hal kecil itu seperti itu saja bisa membuat enggan ngobrol lagi, dan memunculkan berbagai macam pikiran, astaghfirullahaladzim.

Hal-hal kecil seperti itu saja sudah membuat ciut nyali saya, bagaimana dengan hal-hal besar? Sungguh teladan Rasulullah belum masuk dalam sanubari saya, kesabaran beliau sungguh luar biasa. Betapa beliau masih sanggup menyuapi dengan lembut seorang tua yang dengan terang-terangan menjelek-jelekkan beliau di depan mata. Betapa beliau masih sanggup menanyakan kabar seorang tetangga terang-terangan membenci beliau. Sungguh kecil diri ini, karena kecilnya, sering terjatuh hanya karena sebutir kerikil.

Batin saya bertanya lagi, mampukah saya berbuat nekat menjadi orang baik? Dimulai dari hal kecil saja dulu, misalnya tetap tersenyum dan menyapa meski ada kemungkinan tidak berbalas, tetap nekat. Atau tetap nekat menjaga silaturahmi meski kemungkinan besar tetap dicueki. Tersenyum, menyapa, dan bersilaturahmi karena Allah saja, biar Allah yang menilai kita. Saya jadi ingat sebuah quote "Biar saja orang lain tidak menyukai kita, asal Allah menyukai dan menyayangi kita". Allahumma anna.

Tetap tersenyum....smile.....seperti kalau mau difoto "klik"  (;-p)




Mother and Doughter's Day


Hari ini abinya Ara sedang rapat di Nottingham. Berangkat pagi-pagi sekali. Jadilah seharian ini saya hanya berdua saja dengan mbak Ara. banyak obrolan antara saya dengan mbak Ara yang menurut saya agak membingungkan dan cukup menghibur bagi saya, kadang lucu, kadang juga sedikit memusingkan jika obrolan berlanjut dengan pertanyaan yang dilontarkannya, karena pertanyaan itu nanti jika dijawab akan berujung pada pertanyaan selanjutnya yang tiada akhir, yah mungkin seperti sinetron Tersanjung zaman dulu wkwkwkwk....

Berikut beberapa cuplikan seputar obrolan kami berdua.

Ara: Umi, kenapa mbah pergi? Kataya sudah sembuh?
Saya: Iya sekarang sudah sembuh.
Ara: Ya harusnya sekarang ada disini
Saya: Mbah di akherat, sekarang sudah ndak sakit lagi
Ara: Kenapa mbah kok meninggal Mi kalo sudah ndak sakit?
Saya: Karena Allah sayang sama mbah.
Ara: Kalau sayang kenapa meninggal Mi?
Saya: Karena mbah sudah tua
Ara: Lha tapi mbah Kasembon juga tua tapi masih ada
Saya: Ya...itu sudah kehendak Allah
Ara: Diam sambil melanjutkan makan
##############################################################

Ara: Mi, orang jahat itu banyak ya Mi?
Saya: Banyak...
Ara: Berarti yang masuk surga itu nanti sedikit?
Saya: Iya, kata Qur'an cuma 2 persen nanti orang yang masuk surga
Ara: Wow.... dikit amat 
Saya: (Dalam hati, emang tahu berapa banyak 2 persen itu? Wkwkwkwk....)
Ara: Temanku juga akan masuk neraka mi kayaknya
Saya: Lha Kenapa?
Ara: Menceritakan kronologi kejadian di sekolah dengan si anu secara panjang kali lebar,
intinya "He is ruin the game when we play at school"
Saya: Oh...
Ara: Iya kan Mi?
Saya: (Tidak menjawab karena bingung apakah itu kategori bisa masuk neraka??? Wallahualam)
############################################################

Tiba-tiba mbak Ara teringat lagu ini



Ara: Mi mbak Nisa (teman baiknya di TK di Indo) itu sudah menerima pesan dari nabi Mi?
Saya: Sudah, semuanya juga sudah, mbak Ara juga
Ara: Lho tapi aku kan masih 6 year, lha mbak Nisa kan sudah seven...
Saya: Oiya ya...berarti nanti mbak Ara nunggu tujuh tahun ya....
Ara: Nanti aku juga dapat message nabi ya Mi?
Saya: (Mengangguk)
Ara: Kapan itu Mi?
Saya: (Menghela nafas mencoba meberi jawaban yang lebih serius). Sebenarnya nabi sudah mengirim pesan ke semua anak pada zaman dulu kala kepada semua anak yang berusia 7 tahun agar mengerjakan sholat 5 waktu.
Ara: Ke aku juga Mi?
Saya: Iya
Ara: Lha aku kan belum 7, katanya untuk anak 7 tahun
Saya: Oiya...(mulai pening karena obrolan muter ke awal lagi kayak gasing, saya juga yang salah asal bilang iya dan asal ngangguk fyuh....)
############################################################

Ara: Mi bapaknya Syamil itu namanya siapa?
Saya: Ya (sambil mikir)...sebut aja bapaknya Syamil, kan nggak pernah disebut namanya
Ara: Iya bapaknya Syamil...(agak heran)
Saya: (tiba-tiba pengen iseng ngasih jawaban) Mungkin namanya Syamilun
Ara: Kok mirip dengan nama anaknya?
Saya: Ya nggak papa kan, kan memang bapak sama anak
Ara: Lho namaku Ara, nama Umi, Devy, padahal aku anaknya umi, lha kok namanya nggak sama?
Saya: (Mencoba mencari jawaban lain) Oiya....mungkin bapaknya Syamil namanya Supono
Ara: Kayaknya namanya Sulono Mi, Side Sulono namanya
Saya: ???? (ngambil namanya siapa itu?)


Di beberapa obrolan, saya memang sering menanggapi santai, asal jawab karena mbak Ara memang sering sekali bertanya, kadang saya merasa capek memberi jawaban, apalagi biasanya dia bertanya sepanjang waktu, entah ketika saya sambil memasak, mencuci piring, menggoreng ayam yang minyaknya muncrat-muncrat, atau pas konsentrasi menikmati sarapan atau makan siang. Ehm....harus multitalent dan multitasking jadi emak.

Asal Klik Link Itu.....Bikin Pening


Hari ini, saya sebenarnya berniat menuliskan sesuatu yang lama belum sempat saya tuliskan, yaitu tentang retardasi mental dan perkembang seksual. Namun hari ini pun saya tidak jadi menuliskannya, alasannya karena saat membuka blog, tiba-tiba ada iklan semacam pelangsing tubuh yang gambarnya tidak senonoh. Berkali-kali saya utak-atik laptop berharap ada jalan keluar untuk menyingkirkan gambar-gambar yang mengganggu itu.


Setelah beberapa menit, saya lalu konsultasi dengan kakak saya yang kebetulan jago dibidang perkomputeran. Alhamdulillah segera direspon, lalu kakak meminta email beserta password agar bisa mengakses blog saya. Tak lama kemudian, datang pesan melalui fb, ternyata setelah dibuka dari Indonesia, semua baik-baik saja, tidak ada iklan aneh-aneh yang muncul. 


Berpindah ke hal yang lain, kali ini laptop ditengarai terkena virus karena browsernya tiba-tiba berubah sendiri. Pesan berikutnya muncul, kakak saya memberikan petunjuk bagaimana cara menangani virus yang satu ini. Berhubung saya juga agak gaptek dengen teknologi yang satu ini, jadilah saya bagai nenek-nenekberjalan pelan dengan tongkat di tangan berupaya meraba-raba apa maksud tiap-tiap instruksi yang harus dilakukan. Puyeng karena instruksi dan gambar sama sekali berbeda dengan yang tersedia di laptop saya. Usut punya usut ternyata browsernya beda tahun kelahiran, jiah...alias yang digambar lebih jadul. Pantesan ndak nyambung-nyambung....


Akhirnya saya coba browsing sendiri sambil terus berkonsultasi dengan kakak lewat fb. Akhirnya ketemu juga yang sesuai. Dengan penuh ketegangan saya coba menerapkan instruksi demi instruksi yang diberikan lewat tayangan you tube. Maklum saya cemas juga karena jika ada yang keliru, waduh kemana lagi saya harus mengadu, maklum konon katanya disini segala macam perbaikan itu mahal harganya, ampuuun. Bismillahirrohmaanirohiim, klik. Sudah,.....saya cek lagi, loh kok tidak ada perubahan? Padahal sudah berkali-kali laptop saya restart. Browser yang muncul tetap berbeda, bukan chrome, dan gambar-gambar iklan tetap saja muncul. Ya Allah.....urusan begini bisa jadi darah tinggi nih lama-lama. Astaghfirullahaladziim.


Saya browsing lagi, akhirnya nemu program yang namanya adblock (untuk mengeblok iklan-iklan), setelah saya instal, Alhamdulillah iklan buruk rupa itu tidak lagi muncul, tapi space kosongnya masih ada? Mengganggu tampilan juga. Lho kok?? Dan browsernya juga tidak mau ganti. Yang penting iklan sudh hilang, sekarang perbaiki browser dulu. Akhirnya saya masuk ke setting chrome, saya utak-atik dan mendelik buat baca yang njlimet-njlimet di situ, bahasa inggris lagi, triple puyeng....


Aha....nemu nih dengan masalah yang sedang saya alami, akhirnya saya terapkan instruksi yang ada, beres, re-start lagi, dan wow....tetep ndak ada perubahan, chrome ndak mau nongol juga. Utak-atik lagi, bismillah, semoga yang ini. Saya re-start lagi, Alhamdulillah berhasil. Google chrome telah kembali seperti semula...... eh sekarang kembali lagi ke space iklan kosong yang menganggu.Kenapa mengganggu? karena setiap kali saya mau entri blog, space iklan itu menutupi space entri, jadi saya tidak bisa mengetik, weleh....weleh...


Saya memutuskan untuk menambah adblockplus, berharap iklan pergi beserta space-space nya. Setelah saya add adblockplus, space tetep muncul. Ada tombol filter di adblockplus itu, saya coba klik ini itu, akhirnya....blog saya yang hilang karena dianggap sebagai iklan juga....masyaAllah, kuartet puyeng nih... Lalu saya putuskan untuk menghilangkan blocknya, alhamdulillah blog saya bisa muncul, tapi syaratnya ya itu, adblockplus harus disable, kl dimunculkan hilang semua tulisan saya :-( Ndak papa lah, sementara masalah sudah bisa teratasi. Kendala space iklan masih ada, namun kadang space itu muncul, kadang juga tidak, makanya akhirnya bisa menulis curahan melow ini.


Saatnya meregangkan tubuh, dan menengok jam, wow....jam 7 malam, padahal saya mulai mengutak-atik laptop ini mulai dari jam 10 pagi ck..ck...ck.... tapi memang kegiatan utak-atik diselingi momong, makan, sholat, dan lain-lain. Alhamdulillah.


Awal mula kisah......

Beberapa hari lalu muncul keinginan untuk mendownloadkan film kartun untuk Ara, agar dia sedikit terhibur dengan kepergian mbah. Nah disitulah awal mulanya. Saya mulai search situs-situs download film gratis, disetiap situs yang saya buka selalu ada gambar film yang saya cari dan tombol download di bawahnya. Dengan lugunya, saya klik aja tulisan download, lalu muncul tombol download yang lain, lalu tiap kali klik muncul yang lain pula, bukan film yang terdownload tapi entah bermacam-macam program yang kebanyakan tidak begitu saya kenal, kebanyakan sih program untuk download film juga. Entah berapa link yang sudah saya klik. itulah kata kakak saya yang mungkin menyebabkan masuk virus ke laptop saya. Anehnya padahal berkali-kali saya coba scan dengan antivirus, kenapa ndak mau pergi juga ya? Akhirnya saya uninstall satu-persatu. 

Saatnya istirahat, insyaAllah nanti malam atau besok pagi saya sempat mengutak-atiknya lagi. Ada yang bersedia memberi pertolongan gratis? Emmm akan sangat dengan senang hati saya terima :-)

Selasa, 23 Juli 2013

Kue Monster?


Dua hari yang lalu saya berniat mengunjungi salah seorang teman. Mumpung masih dalam rangka ramadhan maka saya berinisiatif membuat bolu mekar. Mulailah saya ke dapur menyiapkan bahan dan peralatan. Giliran saya membuka-buka buku resep, masyaAllah saya tidak berhasil menemukan resep bolu kukus mekar disana, padahal seingat saya, saya sudah mencatatnya begitu selesai searching di mbah google. Yah beginilah pertanda penuaan yang mulai menghampiri. Akhirnya saya memutuskan memakai resep bolu kukus pelangi. Dalam hati, ah pasti sama saja resepnya, sama-sama bolunya, pasti berhasil. Saya meyakinkan diri, meski tetap tidak yakin sebenarnya. Soalnya sudah kepalang tanggung mau membuka laptop lagi.

Dengan membaca bismillah saya mulai mencampur bahan satu persatu sambil di mix. Setelah dirasa cukup, saya menyiapkan cetakan bolu kukus mekar, sekaligur melapisinya dengan kertas roti. Lalu segera panaskan pengukus. Oiya sentuhan terakhir, saya menambahkan essence vanila dan pewarna pada adonan, hemmm harum, pasti enak. Ini kesimpulan awal saya berdasarkan aroma yang saya cium dari adonan mentah itu. Lalu saya mulai memasukkan sesendok demi sesendok adonan ke dalam cetakan.

Saatnya mengukus. Karena merasa penasaran, saya enggan beranjak dari kukusan, saya pelototi terus adonan di cetakan yang dikukus, ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Pada menit ke 10, ada tanda-tanda roti akan mekar, wow tentu saja terus mekar, bagus seperti jamur. Saya sangat senang sekali. Setelah dirasa cukup waktunya, dan menurut perkiraan saya sudah matang. Pelan-pelan saya angkat tutup pancinya, dan....ah.....kuenya tiba-tiba mengempis seperti balon yang meletus, mengkerut, dan bantat. Yah....batin saya kecewa berat. Tapi masih ada sisa adonan. 

Sisa adonan yang ada akhirnya saya cetak di wadah berbentuk kotak yang biasanya memang saya pakai untuk mencetak bolu kukus pelangi, berharap ini hanya masalah ketidaksesuaian antara resep dengan cetakan. Saya masukkan cetakan yang telah terisis adonan ke dalam kukusan, berharap ada keajaiban. Setelah beberapa menit kemudian, terlihat adonan mengembang sedemikian rupa, penuh sampai menyentuh tutup pengukus. Rasa kekhawatran tetap ada, namun saya tetap merasa positif dan optimis (meski keciiiil sekali). 

Ini dia saat-saat yang paling mendebarkan, yaitu saat mengangkat tutup pengukus untuk mengambil adonan. Jangan-jangan mekarnya kue itu haya fatamorgana belaka seperti kejadian pertama. Akhirnya saya memberanikan diri mematikan kompor, kue masih mengembang dengan indahnya, lalu pelan-pelan tangan saya memegang tutup pengukus. Saya angkat perlahan, dan yah.......kempes lagi kuenya, seperti balon kempis, lebih parah malah, sudah tidak berbentuk juga, karena sisa yang mekar tadi jadi menggelambir kesana-kemari. Huft....rasanya sejuta pokoknya, campur aduk, antara sayang dengan bahan yang telah terpakai, tenaga, dan waktu yang sudah habis.

Tapi setelah dicium, aromanya enaaaak sekali. Akhirnya saya beranikan diri menunjukkan hasil karya saya pada mbak Ara yang sedang berpuasa setengah hari. Mbak Ara bertanya nama kuenya, sekenanya saya jawab kalau itu kue jamur. "Kok bisa umi bikin bentuk yang kayak gini?" tanyanya lagi. Belum sempat saya menjawab, dia melanjutkan "kayak monster mi", masih sambil memegang dan diputar-putarnya kue itu, matanya terlihat mengamat-amati dengan seksama. Mungkin dalam hatinya bertanya, bentuknya saja begini, bagaimana nanti rasanya ya.....saya mengambil nafas dalam-dalam berusaha tenang dan berlapang dada mendengar pendapatnya lagi. "Enak mi rasanya, aku sukaaaaaa sekali, bikin yang banyak ya mi". Alhamdulillah, plong rasanya. Syukurlah ada yang menemani menghabiskan kue monster ini nanti saat magrib.

Saatnya abi datang. Abi hanya tersenyum saat melihat kue itu di atas meja. "Kue apa itu mi?" tanyanya. "Kue gagal abi". "Ndak gagal kok mi, baunya aja enak, mungkin bentuknya aja yang kayak zombie", lanjutnya tenang. Aduh kompak banget nih abi ma anak, satunya bilang monster, satunya bilang zombie, nggak ada yang lebih bagus? Protesku, tapi itu cuma dalam hati saja, karena masih berharap abi juga mau membantu menghabiskan kue itu saat magrib tiba.

Adzan magrib berkumandang. Saatnya mencicip. Alhamdulillah abi pendapatnya positif sekali, "enak". Mengucapkannya terlihat tulus dari hati, berarti memang sungguh-sungguh enaknya. Emm...kalau saya rasakan memang yah...lumayan. Tapi karena kue yang tidak jadi itu, saya memutuskan untuk menunda berkunjung ke rumah teman. Kawatir ada istilah baru lagi selain monster dan zombie, jika saya memaksakan diri membawa kue itu ke rumah teman he...he...he...

Gangguan Perilaku Pada Anak : Enuresis



Apakah yang dimaksud dengan enuresis? Enuresis biasa disebut dengan mengompol (bedwetting) yang biasanya terjadi pada malam hari saat anak-anak sedang tidur. Secara istilah, enuresis adalah ketidakmampuan dalam mengontrol urin. Mengompol dianggap masih dalam tahap wajar jika terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun. Berdasarkan penelitian, kasus enuresis terjadi dua kali lipat lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. 

Istilah enuresis ini dibagi 2, yaitu:

  1. Primary nocturnal enuresis, yaitu anak selalu mengompol setiap malamnya, atau sering sekali mengompol.
  2. Secondary nocturnal enuresis, yaitu anak awalnya sudah tidak lagi mengompol, namun suatu saat kembali mengompol lagi.
Hal apa saja yang menyebabkan terjadinya mengompol?
Pada sebagian besar anak, mengompol terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang jelas. Mengompol juga bukan kesalahan langsung pada anak, biasanya ini terjadi karena produksi urin pada malam hari lebih banyak daripada yang mampu ditahan oleh kandung kemih anak. Namun sensasi dari penuhnya kandung kemih ini ternyata belum mampu membangunkan anak yang sedang terlelap, maka terjadilah mengompol.

Pada kasus yang lain, mengompol pada anak akan semakin parah dan memburuk. Bisa jadi hal ini adalah ujung dari pertanda suatu masalah yang mungkin terjadi pada anak, antara lain;

  • Stress yang berulang-ulang. Bisa jadi anak awalnya sudah tidak lagi mengompol namun kembali muncul perilaku ini dikarenakan anak mengalami sesuatu yang membuatnya sangat tidak nyaman, misalnya awal masuk sekolah, kedatangan adik baru, menderita suatu penyakit, mendapatkan perlakuan yang buruk dari teman (bullying), atau anak mengalami pelecehan.
  • Makanan maupun minuman yang mengandung kafein. Makanan atau minuman itu antara lain teh, kopi, cola, dan coklat. Kafein ini menyebabkan produksi urin yang dihasilkan oleh ginjal meningkat.
  • Sembelit (konstipasi). Jumlah feses yang berlebih bisa saja menekan dan mengirutasi bagian belakang kandung kemih. Anak yang sering mengalami konstipasi cenderung memiliki masalah mengompol juga.
  • Anak yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Anak yang mengalami gangguan ini akan memiliki resiko lebih besar menderita bedwetting atau mengompol.
Mengompol juga bisa dikarenakan kondisi medis tertentu yang dialami anak, seperti;
  • Infeksi urin
  • Sleep apnea, yaitu berhenti bernafas sesaat ketika anak sedang tidur akibat dari terhalangnya jalan udara
  • Diabetes
  • Gangguan pada ginjal
Namun demikian, angka kejadian di atas bisa dibilang sangat jarang sekali. Dan untuk mengetahuinya tentu saja dibutuhkan bantuan dari seorang ahli medis.

Lantas apa saja yang perlu dilakukan oleh orang tua jika mengetahui anak mereka mengalami gangguan mengompol ini? 

Berikut ini adalah beberapa tip yang perlu dicoba, antara lain;
  • Penggunaan nappi atau diaper. Jika anak terbiasa menggunakan nappi di malam hari, cobalah untuk memulai melepasnya, dengan harapan memberi motivasi anak agar mau bangun di malam hari jika tidak ingin merasa basah di malam harinya. Resiko tentu saja tetap terjadi, namun dengn motivasi diharapkan anak kembali berusaha agar tetap kering di malam hari tanpa nappi. Pada anak yang lebih kecil usianya jika usaha tersebut dirasa kurang berhasil, maka orang tua bisa kembali memakaikan nappi padanya untuk sementara, dan kembali dicoba lagi setelah beberapa waktu.
  • Kesabaran, kenyamanan, dan kasih sayang. Teruslah berusaha jika si anak tetap mengompol, namun bagi anak di bawah usia 3 tahun, orang tua bisa kembali menghentikan proses pembiasaan, dan diulangi lagi beberapa bulan kemudian. Motivasi dari orang tua sangat dibutuhkan anak dalam proses ini, meski kadang masih terjadi sesekali mengompol tertutama bagi anak di atas usia 3 tahun dan usia sekolah. Orang tua hendaklah tidak menyalahkan atau memberi hukuman pada anak, fokuskan pada pemberian hadiah jika anak tidak mengompol, sehingga anak tidak merasa stress.
  • Memberikan penjelasan sederhana pada anak. Ada baiknya orang tua menjelaskan bagaimana terjadinya proses buang air kecil dan kenapa bisa terjadi mengompol. Sesuaikan bahasa dengan bahasa yang dipahami anak, diharapkan jika anak mengerti maka bisa semakin berusaha mengontrol pengeluaran urine pada malam hari.
  • Beri tanggung jawab pada anak. Jika suatu malam anak mengompol, bangunkan anak, dan ajaklah merapikan bekas ompolnya sendiri, misalnya ajaklah anak mengganti sprei yang basah, menjemur kasur esok harinya, atau mencuci bersama bajunya yang basah. Hal ini memberi motivasi dan tanggung pada anak agar besok-besoknya tidak lagi mengompol agar tidak mendapat tugas ekstra ini. Pemberian tanggung jawab ini bisa diterapkan pada anak yang sudah memasuki usia sekolah, yaitu usia 5 atau 6 tahun ke atas.
  • Membiasakan bangun pada malam hari. Pastikan anak tidak takut untuk bangun dan menuju kamar mandi pada malam hari. Pada beberapa anak, bisa saja mereka mengompol karena enggan bangun akibat merasa cemas dengan gelap, laba-laba, atau suara-suara di malam hari. Sehingga mereka lebih nyaman untuk menahan kencingnya.
  • Menghindarkan minuman tertentu. Beberapa jam sebelum tidur hendaknya orang tua menghindari memberikan minuman yang mengandung kopi, teh, atau cola.
  • Mengangkat anak. Mengangkat anak pada malam hari untuk mengeluarkan urin di kamar mandi, namun cara ini  dirasa kurang efektif, karena tidak mengajarkan tanggung jawab pada diri anak. Lebih baik bangunkan sehingga anak secara sadar berjalan ke kamar mandi dan buang air kecil.
  • Mendatangi medis. Jika mengompol dikarenakan anak mengalami sembelit, maka orang tua perlu meminta bantuan dokter untuk mengatasi masalah sembelitnya terlebih dahulu.
  • Tidur menginap. Biasanya anak akan merasa malu jika tiba-tiba mengompol saat tidur di rumah saudara maupun teman. Hal ini akan membuat anak lebih waspada terhadap stimulus buang air kecil di malam hari. Terutama bagi anak usia sekolah.
Alternatif lain yang mungkin bisa dilakukan antara lain:


  • Alarm mengompol. Alarm ini semacam bantalan (pad) yang akan berbunyi begitu anak mulai mengompol tujuannya agar anak terbangun, dan melanjutkan buang air kecilnya di kamar mandi. Untuk lebih detailnya bagaimana bentuk dan cara penggunaannya, orang tua perlu mencari informasi lebih lanjut karena saya sendiri belum pernah mengetahui alat ini secara langsung.
  • Konsumsi obat. Obat ini bekerja untuk mengurangi produksi urin di malam hari.

  • Bedwetting reward system. Yaitu orang tua memberikan reward pada anaknya jika mampu melakukan hal-hal kongkrit atas usahanya agar tidak mengompol. Misalnya saat anak berani bangun pada malam hari, berani ke kamar mandi, dan sebagainya.









Sumber:
  • www.patient.co.uk