Minggu, 03 Februari 2013

Jangan Ada Lagi Patah Hati


Bukan lautan hanya kolam susu
katanya...
Tapi kenapa yang bisa minum susu hanya orang-orang kaya?
Kail dan jala mampu menghidupimu
katanya....
Tapi kenapa ikan-ikan kita banyak dicuri negara lain?
Tiada topan tiada badai kau temui 
katanya....
Tapi kenapa bapakku tertiup angin ke negara tetangga?
Ikan dan udang menghampiri diriku
katanya.....
Nyatanya kok banyak udang di balik batu?


Kata-kata itu saya ambil dari film berjudul "Tanah Surga katanya....". Bagus emang filmnya, banyak pesan di dalamnya, dan saya juga jadi bertambah wawasannya. Jadi lebih tahu bagaimana sekilas gambaran kehidupan di perbatasan. Bagi yang sudah menonton film ini saya kira pasti tahu arah dari tulisan di atas, bagi yang penasaran silahkan tonton sendiri filmnya.

Mungkin ini sekiranya apa yang dirasakan sebagian orang-orang di perbatasan. Cinta bertepuk sebelah tangan. Ini pendapat saya pribadi sih. Saya tidak pernah merasakan hidup di perbatasan negara. Tapi saya sampai sekarang secara tidak sengaja selalu tinggal di perbatasan kabupaten. Jadi ya ada lah pengalaman meski tidak mirip.

Saya merasa, banyak kebutuhan di desa saya dicukupi oleh desa tetangga saya (yang kebetulan termasuk kabupaten lain). Saya lebih dekat pergi ke ibu kota kabupaten tetangga saya daripada ibu kota kabupaten saya sendiri. Urusan-urusan semacam listrik, telepon, surat-surat penting, ngikut ke desa tetangga saya, karena kalau ngurus di kabupaten sendiri, jauuuuh...berat di ongkos dan waktu. Harapannya sih ada perwakilan dari kabupaten, atau paling tidak, pihak kecamatan mempermudah sagala urusan per-administrasi-an, agar tidak perlu jauh-jauh ke ibu kota kabupaten sana. Jika pemkab membangun, desa saya gitu-gitu aja, sepertinya jauh dari jangkauan. Tapi kalau kabupaten tetangga membangun, pembangunannya berhenti pas di perbatasan. Kalau itu emang sudah seharusnya. Nasib desa saya jadi merana, dicuekin "kiri kanan". Harus "mandiri" deh.

Kenapa saya mengistilahkan dengan cinta bertepuk sebelah tangan? Maksud saya, mereka yang hidup di perbatasan, jika optimis, saya yakin mereka cinta dengan Indonesia, cinta dengan negara ini. Mereka tetap rela menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Tapi apakah mereka juga merasa dicintai bangsa ini? Sepertinya....

Jika di film tersebut digambarkan bagaimana susahnya hidup di perbatasan, dengan segala fasilitasnya yang minim, saya kira...........dicintai? Bukankah cinta itu harusnya memberi dan menerima? Nah kalau memberi saja, apa tuh artinya? Ya...tidak aneh jika kemudian mereka jadi tidak mengenal identitas bangsanya sendiri. Yah kenapa susah-susah mengenali identitas?....Kan nggak ada yang mengenalkan, bisa jadi negara ini lupa, bahwa mereka bagian dari bangsa ini juga.

Lupa? Manusiawi sih, bukannya bangsa ini, negara ini, berikut pemerintahannya memang terdiri dari gerombolan manusia? Ups...kumpulan manusia maksudnya, yang tidak sedikit tentunya, dan pastilah cerdas. Tapi segitu banyaknya manusia cerdas kok ya bisa lupa ya?...Lupa berjamaah, berharap lebih banyak pahalanya.

Tak heranlah jika banyak orang perbatasan mengidentikkan dirinya dengan negara tetangganya yang dianggap lebih peduli, dan lebih "pengertian". Selingkuh? Manusiawi bukan? Daripada repot-repot bertepuk sebelah tangan, bisa stress, depresi, syukur-syukur tidak bunuh diri, alih-alih mencari jalan keluar yang paling dianggap sehat.

Semoga yang merasa dicintai segera sadar diri, dan membuka pintu hati, sehingga tak ada lagi cerita-cerita tentang patah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar