Senin, 06 Januari 2014

Sebuah Catatan Tentang Saya (Jilbab)

Saya memutuskan untuk memakai jilbab saat kelas 3 SMP, saat itu pihak sekolah memberikan kebebasan pada siswi-siswinya untuk mengenakan jilbab beberapa hari dalam satu minggu, jadi kami dipersilahkan memakai jilbab di hari yang kita mau. Di hari berikutnya sebenarnya boleh juga memakai jilbab seterusnya, namun bagi yang belum siap atau lebih karena keterbatasan seragam, boleh kembali membuka jilbabnya. 

Kenapa keterbatasan seragam? Maklum seperti saya sudah kelas 3, rasanya sayang jika harus membeli seragam baru, Alhamdulillah orang tua saya mau membelikan 1 stel seragam baru yang panjang, jadilah saya berjilbab di hari rabu dan kamis saja. Beberapa teman yang lain memakai jilbab dengan seragam mereka yang lama, yaitu atasan lengan pendek, dan rok se lutut, hanya memanjangkan kaos kakinya hingga ke lutut.  

Alhamdulillah teman-teman di sekolah tidak ada yang mengolok-olok kami dengan penampilan yang berubah-ubah, guru-guru kami juga demikian, mereka tidak menekan agar kami terus-menerus konsisten berjilbab ataupun juga mengkritik penampilan kami. Mereka rata-rata memberikan penghargaan pada kami. Terkadang guru kami tersenyum saat kami saling membetulkan jilbab kami yang mencong kesana-kemari, dan terus terang memakai jilbab bukan suatu hal yang mudah dan praktis buat saya pribadi, apalagi saya sangat tomboi di usia-usia itu.

Saat memasuki SMA, saya memutuskan memakai jilbab, awalnya lebih karena betis kanan saya terkena knalpot, dan saya malu dengan bekas luka itu. Alhamdulillah orang tua saya mendukung. Orang tua saya tidak pernah repot dengan penampilan saya sebenarnya, mereka mengijinkan saya memakai pakaian apa saja yang nyaman buat saya, entah itu berjilbab ataupun tidak. 


 Nah tapi saat SMA ini saya memakai jilbab hanya saat sekolah saja, begitu pulang sampai kos-kos an jilbabnya di gantungan he3...maklum punya baju muslimnya hanya seragam saja dan saya memang tidak minta dibelikan baju-baju panjang ke orang tua. Beberapa teman saya yang tahu hal itu ada yang tidak berkomentar, tapi ada juga yang berkomentar negatif di belakang saya, dan menyebarkan berita bahwa "Devy alim nya hanya di sekolah saja". Saya tahu siapa pelakunya, dan saya masih bisa berteman dengan dia karena saya merasa tidak tersinggung dengan komentarnya. Saya merasa tidak sedang mencari image alim, jadi saya tidak perlu tersinggung.  

Alhamdulillah lambat laun saya punya beberapa baju panjang, tidak banyak sih, tapi lumayan bisa untuk main ke kos an teman atau sekedar beli makan ke warung terdekat. Tapi lebih sering saya pakai celana panjang, kaos pendek lalu memakai jaket atau sweater untuk menanggulangi baju lengan panjang yang habis belum tercuci. Lama-lama kontroversi tentang "ke alim an" saya tidak terdengar lagi. Mungkin faktor juga saya bukan ABG populer di sekolah, jadi gosip tentang saya mudah hilang hi3....alias ndak penting.

Saat kuliah, luka di betis kanan saya sudah hilang, antara iya dan tidak ingin meneruskan berjilbab, karena saya merasa tidak ada lagi yang perlu saya tutup-tutupi. Pendapat orang tua? wah kalau soal itu tidak perlu repot, mereka masih seperti semula, membiarkan saya mengambil keputusan memakai pakaian model apa pun yang saya sukai. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap memakai jilbab. Tapi baju panjangnya cuma beberapa, sementara kuliah kan tidak pakai seragam, jadi perlu banyak baju ganti dong. Beli? Oh...itu bukan pilihan yang bijak buat saya, bisa kuliah saja sudah sangat bersyukur, tidak kepikiran buat minta dibelikan baju baru yang menutup aurot. 


Jadilah saya membawa beberapa celana dan kemeja kakak laki-laki saya yang tidak terpakai, dan jilbabnya tetap jilbab seragam SMA. Selama di kuliah ini, ada yang lucu lagi nih, ada kakak angkatan yang sering menyebut saya sebagai "miss tabrakan", dan pernah juga saya dimanfaatkan sebagai bahan lelucon di kelas, saat kami kebetulan kuliah bersama. Alhamdulillah saya juga tidak merasa tersinggung, karena saya memang sering memakai baju dengan tabrak warna, mau gimana lagi? lha itu memang kenyataan bagi saya, jadi buat apa saya marah he3... 

Saya memang sering sekali, atau memang sudah kebiasaan kali ya pergi kuliah memakai celana entah jins entah katun (milik kakak) warnanya kalau ndak hitam ya abu-abu, biasanya atasan kemeja kotak-kotak (milik kakak) bisa warna biru, ijo, habis itu pakai jilbab seragam SMA yang warnanya terbatas putih (seragam hari senin sampai kamis, Coklat (seragam pramuka), dan hijau muda (seragam khas SMA saya). Jadi mau ndak mau, pilihan warnanya itu-itu saja tinggal di mix aja biar terlihat ganti baju he3... jadi kebayang kan penampilan saya jaman itu? Sebenarnya itu salah satu yang saya tidak suka tentang kuliah, tidak pakai seragam, malah kebingungan milih baju (padahal nggak ada juga yang dipilih hi3....) Alhamdulillah saya tetap bisa bertahan hidup dengan becandaan itu, lama-lama hilang sendiri kok, nggak usah diapa-apain, mungkin males juga kali ya ngeliat saya bandel tetep pakai baju tabrakan meski berkali-kali diingatkan dengan cara seperti itu.

Berikutnya saya mencoba bergabung di kegiatan keagamaan universitas tempat saya belajar. Saat itu saya satu-satunya anggota yang masih belum memakai gamis atau rok, alias masih memakai celana panjang. Alhamdulillah saya diterima dengan sangat baik oleh teman-teman senior, dan mereka juga tidak pernah membicarakan cara berpakaian yang saya kenakan. Awalnya saya sempet kurang yakin akan diterima.

Melihat keanggunan teman-teman yang memakai gamis dan jilbab panjang, sungguh membuat saya sangat tertarik dan ingin merubah penampilan. Berkali-kali juga saya bertanya dimana tempat membeli jilbab dan gamis dengan harga mahasiswi. Bahkan salah satu teman saya bersedia mengantarkan saya ke toko itu.

Namun setelah melihat harganya....ternyata 1 gamis yang sederhana harganya melebihi jatah makan saya dalam seminggu. Ah nggak papa dalam hati saya, hari ini saya survey harga-harga dulu, gamis dan jilbab. Lokasi toko sudah tahu, lumayan jika ditempuh dengan jalan kaki dari kos-kos an. Suatu hari nanti jika sudah ada rejeki, bisa jalan ke toko ini sendiri.

Mulai saat itu, saya rajin menabung, mengurangi makan, kadang puasa, kadang masak mie instan yang dibekali orang tua. Alhamdulillah uang sudah terkumpul, dan saya berhasil membeli 1 buah gamis.....horeeee...... Setelah saya coba di kos-kos an, sedikit kebesaran, padahal itu ukuran terkecil di toko itu.

Tapi saya belum percaya diri memakai gamis itu untuk pergi ke kampus, karena masih punya 1, hari ini pakai gamis, besoknya celana, khawatir dibilang ling lung he3....
Saya tetap bertahan dengan penampilan saya, bukan karena tidak ingin tapi lebih karena bersabar mengumpulkan gamis dan jilbab besar. Hingga akhirnya suatu hari, ada rapat seluruh anggota dan pengurus organisasi keagamaan di universitas. Hari itu saya kaget karena saat membuka acara, ketua organisasi menyampaikan tentang masih adanya akhwat yang memakai celana, dan mengkhawatirkan profil organisasi nya akan di arah kan ke mana, dan seperti apa.

Saat itu tempat duduk ikhwan dan akhwat dipisah dengan hijab, jadi saya tidak tahu ekspresi wajah seseorang yang menyampaikan hal itu. Dan saat itu pun saya tidak pernah "ngeh" yang mana sih ketua organisasinya sebenarnya, karena saat rapat tidak pernah bertatap muka, jika bertemu beramai-ramai menurut saya pun mirip semua, berjenggot.

Perasaan malu dan kecewa bercampur aduk saat itu, saya hanya menunduk, tidak berani melihat wajah teman-teman yang lain. Karena saat itu akhwat yang bercelana di forum ya cuma saya, anggota perempuan yang bercelana ya cuma saya. Otomatis saya merasa pembicaraan itu mengarah ke saya.

 Saat itu saya mencoba bertahan di lokasi rapat tersebut, saya ingin mendengarkan hingga selesai. Hingga rapat selesai, alhamdulillah aman. Tidak ada teman-teman akhwat yang berkomentar tentang saya, yah setidaknya di depan saya. Dan mereka semua juga tetap baik dan ramah, tidak membedakan perlakuan mereka kepada saya. Alhamdulillah dengan perlakuan baik para akhwat itu, saya tetap bertahan di organisasi itu. Teman-teman akhwat juga tidak pernah menegur cara berpakaian saya, sama sekali.

Saat saya memasuki dunia kerja, yaitu di sebuah sekolah islam yang menuntut guru dan seluruh karyawannya untuk mengenakan gamis atau rok serta berkerudung panjang awalnya sungguh menyenangkan. Saya sangat bersyukur karena berada di tengah-tengah situasi kerja yang sangat islami. Namun....

Saat saya masih tertatih-tatih ingin belajar menjadi lebih baik, saya merasa ada sesuatu yang menghambat. Misalnya ada yang berkali-kali mengkritik penampilan saya, seperti jilbab kaos yang saya kenakan terlalu ketat, warna baju yang cerah, dan sebagainya. Namun yang lebih saya sesali bukan karena kritikannya, tapi lebih karena cara menyampaikan kritikan tersebut kepada saya.

Mungkin bukan kritikan, boleh lah dikatakan masukan. Tapi, sampainya kenapa bukan dari pemberi masukan langsung, melainkan dari orang lain, misalnya kata orang ini, kamu tidak boleh begini dan begitu, kerudungnya begini dan begitu. Padahal subyek yang memberi masukan itu kenal baik dengan saya, namanya juga satu kantor, bahkan saya dan orang tersebut juga sering berbicara dan bersendau gurau berdua. Tapi kenapa enggan memberi masukan langsung kepada saya. Wallahualam.

Itulah sedikit perjalanan saya dalam cara berjilbab, sepertinya, bagaimanapun cara saya berjilbab dan berpakaian, selalu saja ada yang menganggap salah dan kurang baik, kurang benar. Yang satu menganggap lebih baik dari yang lain.

Saya bersyukur, masih ada orang yang menerima proses saya untuk menuju kebaikan, dan bukan dari hasil atau penampakan luar saya saja. Yaitu suami saya, dia selalu mendukung apapun jalan saya untuk menuju kebaikan, baik ketika saya merasa sangat bersemangat, atau sebaliknya saat saya merasa futur dan berjalan sangat pelan. Dia lah yang selalu memberikan penilaian positif pada setiap usaha saya. Tidak ada kata lain yang perlu saya ucapkan selain ALHAMDULILLAH....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar