Ini adalah sepenggal kisah tentang kakek saya yang saya dengar dari ibu saya. Kurang lebih begini ceritanya.
Saat itu Belanda masih menduduki Indonesia. Di sebuah desa tempat kakek saya tinggal saat itu ada sebuah Perusahaan Listrik Tenaga Air yang dibangun Belanda. PLTA itu masih dikuasai dan dioperasikan oleh sekelompok orang-orang Belanda dan beberapa orang pribumi, termasuk kakek saya yang membantu di sana, mungkin sebagai pegawai rendahan atau apa, saya kurang mengerti. Kakek saya membantu membetulkan mesin-mesin PLTA jika ada kerusakan. Melihat keahlian kakek saya, akhirnya salah seorang Belanda memutuskan untuk menyekolahkan kakek setingkat dengan entah STM atau lebih tinggi saat itu.
Setelah lulus, kakek kemudian dipekerjakan di PLTA tersebut. Selama bekerja di sana, kakek bertemu dengan nenek saya, yang konon adalah seorang anak dari penjual nasi pecel yang berjualan di sekitar PLTA. Ceritanya, kakek saya jatuh cinta sama anak penjual pecel, akhirnya menikah lah kakek dan nenek saya tersebut.
Saat itu kakek termasuk seorang pribumi yang cerdas dan berpendidikan tinggi pada zaman itu, dan memiliki jabatan yang bagus. Bahkan setelah menikah, kakek saya menempati jabatan sebagai kepala PLTA di tempatnya bekerja. Sementara nenek saya tidak bersekolah saat masih anak-anak, dan tidak mengenal baca dan tulis. MasyaAllah, inilah namanya jodoh yang telah digariskan Allah.
Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya sering sekali menginap di rumah kakek, dan nenek saya. Saat-saat itulah saya sering menjumpai kakek yang gemar mendengarkan berita berbahasa asing melalui radio kecilnya. Saya mengistilahkannya, radio "weng song weng song", karena saya tidak paham bahasa apa yang diperdengarkan di radio itu. Kalau sudah begitu, biasanya kakek tidak mau diganggu, saya biasanya bermain sendiri di sebelahnya.
Sementara itu nenek menunggui dagangan di depan rumah. Dagangannya berupa perlatan rumah tangga buatan tangan seperti kuali, anyam-anyaman, banyak jenisnya, namanya pun saya sulit menghafalnya. Anehnya, meskipun nenek tidak bisa baca dan tulis, namun setiap kali nenek membeli barang untuk stok dagangan, nenek bisa mengingat apa saja yang hendak di beli di luar kepala, serta berapa saja jumlahnya. Kemudian bisa mencocokkan harga dengan dagangan yang dimaksud.
Saya senang sekali ikut nenek berbelanja mengisi stok, karena saat itu lah saya bisa menikmati jalan-jalan naik delman, lalu kemudian menikmati sate kambing dan teh hangat di pasar, emmmm sungguh kenikmatan yang mewah bagi saya. Hingga saat ini jika saya mampir ke pasar tersebut, ingatan saya selalu menuju ke kenangan manis puluhan tahun lalu bersama nenek.
Kakek, bukan orang yang banyak bicara, pun sama cucu nya. Sesekali saja bertanya sesuatu, lebih sering tersenyum-senyum sambil mengamati saya dan teman-teman saya bermain. Namun ada hal yang paling saya suka, jika sore hari tiba, setelah saya mandi dan bersisir rapi, kakek selalu mengajak saya ke toko bejo dekat rumah. Pemilik toko itu bernama Pak Bejo, toko itu tidak menjual mainan ataupun kue, melainkan alat tulis. Di sana, kakek membiarkan saya mengamat-amati isi toko itu, lalu menyuruh saya memilih salah satu untk di beli.
Saya sering kebingungan dan berlama-lama disana, banyak sekali benda-benda yang menarik, seperti buku tulis bersampul lucu, pensil isi berbentuk aneka binatang dan bunga, kotak pensil piano, rautan lucu, penghapus yang berbentuk unik, dan banyak lagi.... Suatu hari saya memilih kotak pensil piano, hari lain lagi saya memilih buku, lain lagi saya minta dibelikan pensil bunga, dan lain lagi, lain lagi. Tidak setiap hari saya diajak ke toko Bejo itu, hanya sesekali saja saat kakek menerima upah dari hasil kerjanya. Saat itu kakek saya menjadi tukang bangunan.
Loh...kok bisa menjadi tukang bangunan? Bukankah sebelumnya kepala PLTA? Iya saat itu kakek sempat menjadi kepala PLTA selama beberapa waktu. Dengan fasilitas dan kemewahan yang diberikan pemerintah saat itu sungguh luar biasa. Namun memasuki tahun 60 an, saat ramai-ramainya gerakan PKI, kakek saya difitnah dan dituduh sebagai salah satu anggota PKI. Hingga suatu hari, kakek saya ditangkap di kantornya oleh militer, dan dibawa secara paksa ke sel-sel yang tempatnya berpindah-pindah.
Kakek yang ditangkap, otomatis nenek beserta anak-anaknya juga diminta keluar dari rumah dinas sesegera mungkin. Nenek pindah ke sebuah rumah sewa. Karena tidak bekerja sedangkan harus merawat ke 6 anaknya, akhirnya nenek menjual satu demi satu perabot rumah seperti kulkas, kursi, atau menggadaikan piring, jarit batik, dan lain-lain sembari mencari kakek dari sel yang satu ke sel yang lain.
Entah bagaimana ceritanya, kakek saya bisa kembali bersatu dengan keluarganya. Sejak itu nenek memutuskan untuk berjualan aneka gerabah, dan kakek menjadi tukang bangunan, hingga kemudian anak-anaknya menikah dan lahirlah cucu-cucu nya termasuk saya.
Saat saya SD kelas 6, salah seorang guru sejarah di kelas sering sekali menceritakan kisah tentang kakek saya di kelas. Kakek saya dikenal sebagai tokoh PKI yang baik hati, menurut guru saya, kakek saya adalah seorang PKI yang berpengaruh, meski demikian secara pribadi kakek saya sangat baik kepada orang-orang di sekelilingnya, termasuk guru saya tersebut. Saya diam saja, dan tidak pernah mengungkapkan bahwa saya adalah cucu dari seseorang yang beliau anggap sebagai tokoh PKI yang baik hati he3....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar