Senin, 20 Januari 2014
Perayaan di Sekolah Ara
Perayaan natal semakin dekat. Saat itu Ara masih di sekolah lamanya sebut saja sekolah A. Beberapa hari itu agenda sekolahnya banyak berkisar seputar perayaan natal, seperti persiapan drama, berkirim kartu ucapan, cerita tentang Santa Klaus dan lain-lain.
Saat pulang sekolah, ada saja cerita atau pertanyaan yang dibawakan Ara, misalnya tentang baby Yesus, Santa Klaus, atau lagu-lagu natal yang kadang dia nyanyikan di rumah. Saya berusaha untuk tidak panik melihat "kebiasaan baru" Ara. Hanya berusaha mengalihkan dan memberi pengertian, misalnya saja saat dia menyanyikan lagu natal, saya ajak diskusi tentang lagu itu, misalnya itu lagu tentang apa, dinyanyikan untuk apa, dan sebagainya. Kemudian saya kenalkan dengan lagu-lagu islami yang tak kalah bagusnya dengan lagu itu. Abinya juga menunjukkan di Youtube, bahwa ada banyak lagu-lagu Islam yang enak untuk dinyanyikan. Alhamdulillah cara ini berhasil.
Suatu hari, sepulang sekolah, tiba-tiba dia merasa marah dan kecewa, setelah saya tanya alasannya, dia bercerita bahwa dia tidak dilibatkan dalam drama kelahiran Yesus. Saya tanya lagi kenapa sampai demikian, dia jawab bahwa saat itu guru bertanya saat hendak latihan "Ara, are you not sure?", saat melihat Ara kurang semangat saat sesi drama, lalu Ara terdiam karena dia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan itu. Kemudian gurunya berkata lagi "Okay you can play outside if you aren't sure". Akhirnya Ara dengan berat hati meninggalkan area drama dan bermain di luar bersama teman-teman lain yang tidak ikut bergabung dalam drama.
"Padahal aku ingin ikut Umi....", katanya sambil matanya berkaca-kaca. "Mungkin bu gurunya tahu kalau mbak Ara muslim, makanya bu guru tanya seperti itu sama mbak Ara, karena mbak Ara ndak jawab, dikira mbak Ara ndak mau", saya mencoba menjelaskan. "Tapi aku mau Umi..." masih sambil menahan air matanya. "Memangnya mbak Ara kenapa kok ingin ikut, kan mbak Ara tahu kalau kita tidak merayakan natal?", "Soalnya aku mau jadi dombanya Mi....nyanyinya bagus.....", masih berkaca-kaca lalu dia menirukan nyanyian domba yang dimaksud. Liriknya sih cuma embek....embek...saja sambil bergoyang-goyang badannya. Saya sebenarnya ingin tertawa, melihat ekspresinya itu, tapi saya tidak tega he3....
"Oh...jadi mbak Ara pingin sekali jadi domba? Ya sudah, besok bilang sendiri sama bu guru kalau mbak Ara mau jadi dombanya, ndak usah nangis gitu". Beberapa saat kemudian dia terdiam. Saya mengijinkan karena sudah mendengarkan alasannya.
Besoknya sepulang sekolah, saya tanya "Sudah bilang ke bu guru kalau mau ikut drama?". "Ndak jadi mi....soalnya Umi bilang kalau ndak ngrayain natal, ya udah aku main aja sama teman-teman", jawabnya. "Tapi ndak boleh sedih lho ya kalau nanti lihat temannya tampil drama", saya mewanti-wanti. "Ndak Mi, banyak juga temanku yang ndak ikut kok", ah lega rasanya mendengar jawabannya. Alhamdulillah satu permasalahan sudah selesai. Akhirnya dia memilih dan memutuskan dengan senang hati. Ini poin penting bagi saya dan Ara.
Tak lama kemudian, belum saatnya tampil drama dan perayaan natal, saya mendapat surat dari City Council jika Ara sudah mendapat tempat di sekolah baru yang lebih dekat dengan rumah. Di sekolah yang baru ini, sebut saja sekolah B temanya masih sama yaitu persiapan perayaan juga. Sepulang sekolah, dia mengajak berdiskusi tentang Santa Klaus.
"Mi, Santa Klaus itu lho real, tadi dia datang ke sekolahku, ngasih hadiah, nih buku cerita", sambil menunjukkan bukunya. "Wah bukunya bagus ya....", respon spontan dan dalam rangka nge les karena bingung mo komentar apa soal Santa. "Santa real kan mi? Dia punya rain deer, dan rumahnya di langit, tapi rain deer nya nggak diajak mi, dia datang sendiri". "Kok mbak Ara tahu kalau dia real?". "Soalnya pas masuk kelas dia teriak ...halo...I am the real Santa Claus ho...ho...ho... gitu mi.", jawabnya dengan semangat. Saya terdiam, berpikir sejenak.
"Iya orangnya memang real, orang beneran yang berperan sebagai Santa, kan mbak Ara pernah cerita kalau pernah bertemu Santa di City Centre kapan hari itu, kira-kira sama ndak wajahnya dengan yang datang ke sekolah mbak Ara?", mencoba berdialog. "Emmmm...sama jenggotnya sama bajunya, perutnya juga gendut Mi", jawabnya "Iya karena memakai jenggot pasangan, sama perutnya dikasih spon biar kelihatan gendut". Diskusi tetap berlangsung beberapa lama, beberapa hari kemudian juga, dan Ara masih percaya bahwa Santa itu real.
Bahkan ketika saya menceritakan siapa itu Santa yang sebenarnya, dia masih kukuh dengan pendapatnya. Tidak perlu panik, tetap mencoba memberi pengertian sedikit demi sedikit dan yakin bahwa suatu hari saya bisa menyampaikan dengan cara yang bisa diterimanya. Bismillah. Saya tidak marah dan menolak dengan apa yang ada di pemikirannya. Prinsip saya, biarlah Ara nyaman dulu mengutarakan semua pendapatnya mengenai apapun kepada saya, paling tidak dia tetap mau terbuka dan tidak segan-segan mengajak saya berdiskusi tentang apapun tanpa ada rasa takut.
"Mi aku ikut tampil drama lho...aku jadi pinguin", ceritanya saat sepulang sekolah. "Oiya? ceritanya tentang apa?", ingin tahu. "Seven little pinguins" tanpa diminta bercerita dia menjelaskan jalan cerita drama, dan lagu yang dinyanyikan oleh rombongan pinguin. Dalam hati saya bergumam, oh...ceritanya masih aman, dongeng biasa saja, meski tampilannya untuk perayaan natal nanti.
Sebenarnya di sekolah Ara yang baru ini banyak murid-muridnya mayoritas muslim karena lumayan banyak yang berkerudung saat sekolah, dan saya melihat dari banyaknya wali murid yang berkerudung saat mengantar maupun menjemput. Murid-muridnya kebanyakan pendatang entah dari jazirah arab seperti Irak, Libya, dan sekitarnya, juga dari Pakistan, atau dari negara lain yang mayoritas penduduknya muslim. Namun sekolah tetap menyelenggarakan dan mengenalkan perayaan natal sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Inggris, sifatnya bukan ke arah religius. Setidaknya itu menurut mereka para guru di sekolah itu.
Dari pengalaman yang saya dan Ara peroleh ini menjadi bahan pelajaran tentang adanya perbedaan keyakinan dan budaya yang nyata adanya. Menurut saya tidak perlu memungkiri ataupun menyembunyikan anak terhadap kenyataan yang ada, justru dari situ saya bisa mengajari Ara tentang arti dari saling menghormati dan bertoleransi, juga mencoba menjadi pemeluk Islam yang baik, menjadi duta seorang muslim yang baik. Dan perilaku itu juga menurut saya bisa menjadi syiar atau dakwah yang lembut. Wallahualam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar