Kamis, 05 September 2013
Museum Trinil
Lebaran tahun lalu kami dengan keluarga besar memutuskan untuk berkunjung ke tempat-tempat pariwisata di wilayah ngawi dan sekitarnya kebetulan saat lebaran tahun itu kami semua sedang berkumpul di rumah keluarga Maospati. Setelah bingung memilih tujuan, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi museum Trinil. Saya pribadi sangat senang dan merasa penasaran dengan museum yang satu ini karena nama museum ini saya ketahui dari pelajaran sejarah saat saya di SMP/SMA karena penemuannya yang sangat luar biasa terutama kaitannya dengan teori evolusinya Darwin. Yah...penemuan tulang manusia purba yang dianggap sebagai nenek moyang manusia modern sekarang ini. Yang berikutnya menjadi pro dan kontra di kalangan ilmuwan sendiri.
Kembali ke cerita saya. Sepanjang perjalanan dari Maospati menuju ke museum ini, kami semua bisa dibilang nekat, alias nekat berangkat meski belum tahu pasti letak tempat museum berada. Kami mengandalkan petunjuk jalan yang biasanya ada di tiap perempatan jalan. Anggapan kami, bahwa setiap tempat wisata biasanya ada petunjuk jalan yang menunjukkan ke arah wisata tersebut seperti halnya saat kami ke Borobudur, apalagi museum ini kan juga termasuk museum terkenal hingga ke mancanegara, masih menurut anggapan kami. Namun dalam kenyataannya kami kesulitan menemukan petunjuk ke arah museum ini. Akhirnya salah satu saudara mencoba mencari lokasi museum dengan bantuan GPS, ternyata alat ini juga tidak mampu mendeteksi lokasinya.
Pencarian dilanjutkan dengan bertanya ke pemilik-pemilik warung di tepi jalan, berkali-kali mobil kami berhenti di tepi jalan setiap melihat ada warung makan yang agak ramai dan semuanya menjawab tidak tahu, dan malah balik bertanya di desa mana meseum itu berada, atau di jalan apa. Niat kami mulai goyah karena anak-anak juga sudah mulai bosan dan kepanasan berada di dalam mobil. Salah seorang keluarga kami kembali mencari info melalui google meski jaringan internet tersendat-sendat. Mengetik dengan key word berbahasa Indonesia untuk mencari alamat museum Trinil, teryata tidak menemukan hasil, akhirnya key word di rubah menggunakan bahasa Inggris, ternyata banyak hasil yang muncul, banyak web asing yang malah menuliskan tentang museum ini, dan kami pun menemukan alamatnya di sana, daerah Kedunggalar.
Kami putar balik menuju ke sana karena kita sudah berjalan terlalu jauh dari kawasan tersebut. Sesampainya di wilayah itu, kami berharap menemukan plang besar tentang museum, ternyata tidak juga ada. Kami kembali bertanya pada warga sekitar. "Di ujung sana mas, ada gapura berwarna hitam, ada jalan masuk, lurus saja mengikuti jalan beraspal", begitu penjelasan salah seorang warga. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan, kali ini mobil diperlambat agar dapat menemukan gapura yang dimaksud, kami tetap tidak menemukan, sementara anak-anak semakin riuh.
Kami berhenti di sebuah toko souvenir kayu-kayu an. Kali ini penjaga tokonya mengatakan bahwa gapura yang dimaksud sudah terlewat, sehingga kami harus kembali putar balik arah. Hufffts......kami semua naik mobil lagi, kali ini lajunya lebih pelan lagi. Akhirnya kami menemukan gapura agak besar, tapi kok berwarna biru? Dan jalannya bukan aspal melainkan batu-batuan. Salah seorang dari kami kemudian menanyakan kepada warga setempat, dan bahwa betul jika ingin ke museum Trinil bisa juga lewat jalan ini, tinggal ikuti saja jalan besar ini sampai menemukan jalan beraspal, jalan beraspal itu menuju ke lokasi museum, begitu jelasnya.
Akhirnya, setitik harapan muncul di wajah kami setelah berputar-putar di jalan raya. Debu mulai beterbangan begitu ban mobil kami melewati jalanan itu. Laju mobil semakin melambat karena terhalang debu dan jalanan berbatu yang membuat mobil berguncang-guncang. Kami belum juga menemukan jalan beraspal itu, semua mulai ragu. Saya sendiri karena selain mulai mengantuk dan letih, akhirnya lebih memilih menikmati pemandangan di kanan kiri jalan melalui kaca jendela mobil. Sawah terhampar luas, disambung dengan rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari papan-papan kayu dengan arsitektur sederhana khas rumah adat Jawa zaman dulu, dengan lantai tanah, dan atap yang tidak terlalu tinggi. Di depan rumah rata-rata terdapat jemuran, namun bukan baju, melainkan hasil panen seperti padi-padi an, dan perlatan bertani biasanya juga teronggok di samping depan pintu. Beberapa anak-anak kecil bermain-main di depan rumah, tanpa alas kaki. Beberapa orang dewasa juga ada, duduk mengobrol, dan perempuan-perempuan yang mencari kutu.
Tidak ada rumah besar disepanjang jalan itu, bertembok, ataupun bercat warna-warni, semuanya warna kayu natural. Tidak sadar hingga kami menemukan jalan beraspal, tidak luas jalannya, namun sepanjang jalan beraspal ini ada petunjuk yang menuliskan jarak yang masih harus kita tempuh ke museum yang dimaksud. Petunjuk itu berupa papan kayu kecil, ditulis dengan cat warna hitam, yang dipaku sedemikian rupa, asal berdiri. Kayu itu juga nampak mulai rapuh terkena hujan dan panas, dan kadang panahnya menuju ke bawah, nampak pakunya yang telah goyah untuk menahan arah panah ke arah yang tepat.
Sampailah kita di museum yang dimaksud, gapura besar menyambut sebagai pintu masuk memasuki wilayah museum, di balik gapura itu terdapat patung gajah berukuran besar sekali, berwarna hitam, kemudian ada semacam balai yang cukup luas dengan penyangga kayu, dan beberapa bangunan di sekelilingnya.Awalnya kami mengira bangunan itu adalah museumnya, ternyata bukan. Bangunan itu semacam kantor, dan ada beberapa orang di dalamnya. Kedatangan kami disambut oleh seorang laki-laki bertubuh kurus berseragam coklat. Beliau lah yang kemudian mengantar kami menuju ke museum yang letaknya agak masuk di belakang. Saat itu pengunjungnya hanya kami, tidak ada lagi pengunjung yang lain, entah memang setiap harinya sepi pengunjung atau karena alasan lain, kebetulan memang hari itu Jumat dan waktu sholat Jumat akan segera tiba.
Bangunan museum ternyata tidak terlalu luas ataupun beruang-ruang, melainkan hanya satu ruangan. Ketika kita berada di depan pintu masuknya, mata kita bisa langsung menyapu mengamati seluruh koleksi yang ada di ruangan tersebut. Saya merasa heran, apakah koleksi museum memang sedikit. Di dalam museum itu terdapat tulang manusia maupun binatang-binatang purba. Yang paling saya kagumi dan menarik perhatian saya tentu saja tulang manusia utuh "homo erectus" (manusia yang berjalan tegak) yang diklaim ditemukan oleh Eugene Dubois, seorang peneliti Belanda. Saat saya mendekati letak tulang itu, terdapat tulisan nama disana, saya lupa namanya, yang jelas itu adalah nama seorang petani warga setempat, yang ternyata pertama kali menemukan tulang tersebut. Jadi penemu sebenarnya adalah beliau, sayang sekali saya tidak mengabadikan nama petani itu. Lalu kenapa yang terkenal bukan beliau, melainkan peneliti Belanda itu? Yah karena petani itu hanya menemukan, lalu melaporkannya ke yang "berwenang", dan yang meneliti selanjutnya yang akhirnya mampu mendefinisikan jenis tulang apa yang telah berhasil ditemukan, begitu penjelasan dari bapak berseragam coklat yang memandu kami.
Saya sangat kagum dengan penemuan tulang-tulang unik itu, sungguh tidak ternilai harganya bagi kekayaan negeri ini. Namun saya merasa sangat kecewa saat pemandu kemudian menjelaskan bahwa semua tulang-tulang manusia yang ada di museum itu seluruhnya adalah hanya tiruan saja atau buatan, dan bukan tulang asli yang telah ditemukan. Kami hampir tidak mempercayainya karena memang penampakannya sangat mirip dengan tulang yang terkubur jutaan tahun yang lalu. Pemandu menjelaskan lagi bahwa semua tulang yang diduga berasal dari manusia purba dibawa ke negara Belanda oleh pemerintah Belanda pada zaman itu, dan yang disisakan disini hanya tulang-tulang binatang purba saja itu pun tidak lengkap, misalnya gajah, hanya gadingnya saja, atau gigi dari kerbau, tidak ada yang utuh. Saya merasa sangat menyayangkan kenyataan itu.
Pemandu kemudian menjelaskan kepada kami lagi, kali ini tentang penamaan museum. Kenapa disebut dengan Trinil, karena tulang-tulang itu ditemukan di wilayah yang diapit 3 sungai. Tri artinya tiga, dan nil artinya sungai. Salah satu sungainya adalah sungai Bengawan Solo. Beliau juga menawarkan kepada kami jika kami ingin melihat salah satu tempat ditemukannya tulang-tulang itu yang memang tidak jauh dari museum itu. Namun kami menolak karena waktu sholat Jumat akan segera tiba. Tak lama kemudian kami semua berpamitan pada pemandu yang baik hati tersebut.
Cerita pemandu tentang berbagai sejarah manusia purba lumayan mengobati kekecewaan saya terkait fakta keberadaan tulang-tulang asli manusia purba itu. Saya mengagumi kekayaan sejarah yang dimiliki oleh negeri ini. Sejarah tentang kisah manusia pada masa lampau, jutaan tahun yang lalu, yang hingga kini pun masih banyak misteri yang belum terungkap.
Sepanjang perjalanan pulang, kami mengikuti jalan yang beraspal, dan bukan jalur saat kami berangkat. Tidak perlu ragu lagi kali ini karena jalan beraspal ini memang diperuntukkan menghubungkan jalan raya antar provinsi dengan lokasi museum yang lokasinya di pelosok dan jauh dari jalan raya. Ini memudahkan untuk pengunjung seperti kami. Arah jalan beraspal itu memang berakhir di sebuah gapura besar berwarna hitam yang telah disebutkan oleh pemilik warung di awal cerita tadi. Pantas saja kami kesulitan menemukan gapura tersebut karena dalam bayangan kami gapura itu bertuliskan museum Trinil atau paling tidak ada penunjuk arahnya. Namun gapura itu hanya seperti gapura di ujung gang suatu perkampungan. Selain itu sepanjang perjalanan berangkat dan pulang, kami tidak menemukan angkutan umum yang menuju ke museum, saya jadi penasaran apakah memang benar-benar tidak ada akses angkutan umum untuk menuju ke lokasi museum? Jika benar demikian semakin menyedihkan lagi nasib museum ini, akan semakin kurang dikenal oleh warganya sendiri. Semoga dugaan saya tidak benar.
Jika ada kesempatan lagi, saya ingin berkunjung kesana, mengabadikan nama-nama warga setempat yang pertama kali menemukan tulang-tulang itu. Atau bersilaturahmi dengan bapak pemandu yang sederhana dan baik hati itu. Yang telah dengan sabar menceritakan sepenggal sejarah penemuan-penemuan yang berharga, meski diriringi riuhnya anak-anak kami yang bermain-main, dan berceloteh tentang diorama-diorama manusia purba. Sampai jumpa lagi Trinil.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar