Selasa, 04 Juni 2013
Pohon Harapan Simbah
"Mbah badhe teng pundi?" (Mbah mau kemana?) tanyaku kepada seorang simbah kakung tetanggaku. "Arep nang omahe putuku" (Mau ke rumah cucuku), jawabnya. Rumahnya cucunya itu tepat berada di depan rumahku, aku berjalan beriringan dengan simbah itu, Waktu itu aku baru saja pulang dari belanja sayur. "Simbah yuswone pinten?" (Simbah usianya berapa?) tanyaku lagi, "Pokoke wis akeh ra ngerti piro" (pokoknya sudah banyak, tidak tahu berapa), jawabya sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. "Lahir tahun pinten to mbah?" (Lahir tahun berapa to mbah?) tanyaku lagi penasaran karena aku lihat simbah ini masih rajin beraktifitas ke kebun di belakang rumahku, merasa heran saja. "Pokoke aku jaman Jepang kae wis sekolah" (Pokoknya saya jaman Jepang dulu sudah sekolah), "Teng pundi mbah?" (Dimana mbah?), lanjutku. "Yo ning sekolah opo kae....." (Ya di sekolah apa itu....), tak melanjutkan jawabannya, pandangannya tertunduk mengamati jalan di depannya. "Pareng mbah kulo lurus nggih, atos2 mlampahe mbah...." (Permisi mbah, saya jalan lurus ya, hati-hati ya mbah). "Iyo Nduk" (Iya Nak), jawabnya sambil terus memperhatikan jalan di depannya yang berbatu dan agak menurun.
Aku belum lama menjadi tetangga simbah kakung itu karena aku baru tinggal di lingkungan itu belum genap setahun. Rumahnya sebenarnya tidak begitu jauh dari rumahku, hanya saja aku belum pernah mengunjunginya. Setiap pagi aku tak pernah absen melihat simbah berangkat ke kebun, dan kadang saat simbah pulang siang harinya aku juga mengetahuinya. Badannya sudah mulai bungkuk, tapi tak pernah menghalanginya untuk berjalan mendaki menuju kebunnya sambil membawa sabit, dan pulangnya kadang membawa rumput, kayu, atau sayur-mayur.
"Mboten pegel-pegel mbah?" (Tidak capek mabh badannya?) tanyaku suatu hari saat melihat simbah pulang dari kebun sambil membawa banyak sekali bawaan. "Ora nduk, wis kulino, mengko lek neng omah wae awakke embah malah loro kabeh..." (Tidak Nak, sudah terbiasa, nanti kalau di rumah saja badan embah malah sakit semua), jawabnya. "Monggo pinarak mbah...." (silahkan mampir mbah), tawarku kepada simbah. "Suwun bu...." (Terimakasih bu...), kali ini simbah memanggil saya dengan bu, agak heran juga. Dalam hati aku mendoakan simbah semoga dikaruniakan kesehatan agar simbah bisa melakukan aktifitas kesukaannya yaitu pergi ke kebun.
Sore hari saat aku mengambili jemuran di samping rumah, tidak sengaja aku melihat sosok simbah berjalan ke arah kebun. "Lho mbah tumben sore-sore badhe tindak pundi?" (Lho mbah, tumben sore-sore mau pergi kemana?) tanyaku. "Teng kebon bu...." (Ke kebun bu...), jawabnya agak sedikit berteriak. "Kok sonten to mbah?" (Kok sore mbah?) tanyaku lagi. "Ajenge nandur niki lho bu" (Mau menanam ini lho bu), kata simbah sambil menunjukkan benih mungil yang ada di genggaman tangan kirinya. kali ini simbah berbahasa jawa kromo. Benih itu kira-kira masih berukuran 10cm. "Uwit nopo niku mbah?" (Pohon apa itu mbah?). "Kemiri bu", jawabnya lagi. "Lho lak tasih dangu mbah panene wong tasih alit ngaten" (Lho nanti kan masih lama mbah panennya, kan masih kecil gitu), lanjutku penasaran. "Inggih bu kersane damel anak putu" (Iya bu biar untuk anak cucu). "O...ngaten" (O....begitu), gumamku. Simbah melanjutkan langkahnya. "Atos-atos nggih mbah......" (Hati-hati ya mbah.....), teriakku hampir lupa menyampaikan yang satu itu.
Begitu masuk rumah sembari merapikan cucianku yang sudah kering, jawaban simbah masih terngiang di telinga dan kepalaku. Bagiku simbah sangat bijaksana sekali, di usianya yang tua simbah masih peduli dengan anak dan cucunya dengan menanam benih pohon kemiri yang entah berapa puluh tahun lagi akan panen, itu pun kalau tumbuh dengan subur, bagaimana kalau kemudian benih itu dimakan kambing yang digembalakan, atau begitu saja tercabut oleh kanak-kanak yang sedang bermain di kebun? Oh...berliku sekali perjalanan bibit kemirimu mbah....terbersit rasa ngeri juga jika itu terjadi. Membayangkan perasaan simbah yang hancur berkeping-keping jika pohon harapannya tidak tumbuh sesuai harapan si mbah.
Di saat yang lain sibuk mencari penghargaan diri melalui harta dan jabatan, disaat kata "peduli" berubah hanya sekedar fiksi, saat semua dunia diukur dengan materi, simbah yang kini semakin bungkuk itu tetap menumbuhkan kepeduliannya melalui bibit pohon kemiri. Ah...simbah telah menyindirku habis-habisan rupanya. Dengan usia tuanya, dengan susah payahnya berjalan, dengan semangatnya, semuanya. Simbah lebih kaya segala sesuatunya dari pada aku yang jauh lebih muda dari simbah.
Aku tidak melihat simbah beberapa hari ini, aku penasaran dengan pohon kemiri simbah, sudah mulai tinggikah, sudah mulai banyak daunnya kah? semakin subur atau mengering?
"Simbah sakit. Opname di rumah sakit...sudah satu minggu, sesak nafas, sempat kritis". Deg...sesaat terasa sesak di dadaku mendengar jawaban tetanggaku yang juga masih cucu simbah saat aku menanyakan kabar simbah. Aku berniat menjenguk simbah di rumah sakit, tapi belum juga aku punya waktu untuk kesana, huffft....keburu meninggal nanti simbah...Astagfirullahalazziim.....kata itu tiba-tiba muncul begitu saja di benakku. Ok besok harus kesana janjiku dalam hati. Sorenya aku mendapat kabar jika simbah sudah pulang. Ah...leganya berarti simbah sudah sehat lagi.
"Sakjane dereng saras bu, simbah mekso, sampun mboten betah...selak pingin tilik kebon niku lho bu" (Sebenarnya belum sembuh betul bu, simbah memaksa, sudah tidak betah...ingin segera menengok kebun itu lho bu). Kata salah sorang anak perempuan simbah menjelaskan kenapa simbah tidak mau dirawat di Rumah Sakit sampai benar-benar sembuh. Simbah hanya terbatuk-batuk mendengar obrolan kami. "Nggih ngoten niku embah, di ken istirahat teng griyo mboten kenging...terose awake pegel sedoyo, niki namung kulo paringi wedang jahe mben dinten kalih obat saking rumah sakit" (Ya begitu embah, diminta istirahat di rumah tidak bisa...katanya badannya pegal semua, sekarang ini cuma saya kasih minuman jahe setiap hari dan obat dari Rumah Sakit). Lanjutnya lagi. Setelah lama ngobrol dan sedikit "menasehati" simbah agar lebih banyak beristirahat, aku berpamitan pulang pada simbah dan putrinya. Pulang sambil membawa banyak hal dalam pikiranku.
Simbah menyindirku lagi. Simbah badannya sakit semua jika lama tidak ke kebun, simbah yang sakit memaksakan dirinya untuk tetap menengok kebun kesayangannya. Simbah yang semakin tua masih menebar harapannya untuk 1000 tahun lagi. Aku, tidak bisa lagi menyombongkan kemudaanku di depan simbah. Aku lebih banyak mengeluh, tentang ini tentang itu, masih berkutat dengan penilaian diri di depan orang lain. Boro-boro memikirkan orang lain, peduli dengan yang lain. Aku masih suka sibuk dengan diriku sendiri, bahkan sikut sana-sini demi merasa "sedikit lebih baik" dari yang lain. Apalagi memikirkan warisan untuk anak-cucu....jauh dari pikiranku simbah.
Kupanjatkan doa untuk simbah, semoga simbah sehat dan panjang umur, bahagia hingga nanti di akhir hidupnya. Simbah yang tidak pernah minta apa-apa, hanya minta diijinkan mengunjungi kebunnya setiap hari demi memastikan bibit pohon harapannya tumbuh dengan sempurna yang akan simbah persembahkan untuk anak cucunya kelak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar