Rasanya sedikit terlambat menuliskan pengalaman ini, pengalaman yang berhubungan dengan dokter. Beberapa hari lalu media diramaikan dengan gerakan menolak kriminalisasi dokter. Wall facebook saya penuh dengan postingan-postingan dari kawan-kawan yang sikapnya bermacam-macam tentang gerakan tersebut. Ada yang sangat mendukung dan sangat menyayangkan terjadinya kriminalisasi terhadap dokter, ada juga yang sangat mendukung karena merasa pernah dikecewakan oleh profesi yang satu ini, ada juga yang mencoba melihat kasus ini secara obyektif, selain itu ada juga yang tidak perduli. Salah satunya saya mungkin ya he....
Sejenak kemudian saya terpikir untuk berbagi pengalaman saya terkait dengan hubungan saya dengan para dokter yang mungkin bisa memberikan manfaat bagi pembaca. Kisah saya diawali saat saya hamil, anak pertama, tentu saja saya ingin mendapatkan pelayanan dari Rumah Sakit dan dokter yang terbaik, setidaknya menurut kemampuan dan kondisi finansial saya dan suami. Lalu saya dan suami memutuskan untuk memilih dokter kandungan di sebuah RS A dengan dokter A. Kesan pertama saya sangat positif karena saya melihat pasiennya banyak, saat masuk resepsionis pelayanannya juga ramah. Setelah mendaftar, seperti biasa, saya dan ibu-ibu hamil lainnya menunggu untuk dipanggil sesuai nomor antrian pendaftaran. Tidak lama kemudian, pasien mulai dipanggil, anehnya bukan satu persatu, namun 3 nama sekaligus. Saya sedikit heran, tapi ya sudahlah, toh saya belum tahu maksudnya, akhirnya saya dan 2 ibu lainnya masuk ke dalam ruang yang sama, tentu saja saya mengajak suami saya untuk masuk ke ruangan dokter yang sama. Di dalam ada seorang dokter dan seorang asistennya, entah itu bidan atau perawat saya kurang begitu paham. Rupanya kami bertiga ini diperiksa secara bersama-sama di ruang yang sama. Bisa kebayang tuh bagaimana rasa tidak nyamannya suami saya saat itu yang sedang mendampingi saya, lha secara otomatis pula kan suami menjadi saksi saya dan ibu lainnya yang periksa di situ, yang seharusnya itu menjadi privasi masing-masing. Konsultasi juga menjadi tidak nyaman karena konsultasi juga berjamaah, otomatis kita bisa saling mendengar isi keluhan pasien satu dengan yang lainnya, mirip rapar RT jadinya. Itulah saat pertama dan insyaAllah terakhir kalinya saya memeriksakan kehamilan saya di RS itu.
Atas saran dari beberapa orang, saya akhirnya memutuskan pindah ke RS B, Alhamdulillah saya dilayani dengan baik, hak privasi saya terpenuhi. Saya bisa berkonsultasi dengan nyaman dan tanpa terburu-buru waktu. Bahkan beberapa kali pula saya dan suami ngobrol selain. Sedangkan saat sekarang ini, semua bisa masuk sekolah kedokteran asalkan mampu membayar mahal, sebaliknya yang pandai namun tidak memiliki biaya maka kesempatannya akan kecil untuk masuk sekolah kedokteran. Efek sampingnya, karena sekolah kedokteran itu mahal, maka setelah menjadi dokter, para dokter itu meminta bayaran yang mahal pula.Dan titik beratnya bukan lagi pada melayani masyarakat. Begitu menurut pendapat beliau. Setidaknya beliau mau terbuka tentang pendapatnya saat saya dan suami berbagi cerita tentang profesinya.
Pengalaman berikutnya saat saya mengalami ketergantungan pada seorang dokter gigi. Beberapa kali saya ngobrol tentang banyak hal di sela-sela saya kontrol ke tempat praktek beliau. Beliau awalnya bekerja di sebuah RS milik pemerintah, namun kemudian memutuskan untuk keluar dari pegawai negeri sipil yang menurut saya itu keputusan yang patut untuk disayangkan. Bukankah menjadi PNS itu menjadi idaman? Khususnya saya he3....yang saat itu sangat ingin menjadi PNS. Beliau menceritakan bahwa saat bekerja di instansi itu ada perasaan kurang puas. Beliau mengeluhkan obat-obatan yang disediakan RS adalah obat-obatan yang kualitasnya rendah, di sisi yang lain beliau diminta untuk melayani pasien dengan sebaik-baiknya dengan resiko seminimal mungkin. Nah ini yang membuat beliau tidak adil. Jika ada pasien gigi yang parah, yang membutuhkan penanganan ekstra seolah-olah semua beban ada di pundak beliau karena obat seperti bius dan perlengkapan yang ada kurang memadai, sedangkan mau tidak mau, pasien harus ditangani, tidak boleh ditelantarkan. Namun jika dipaksakan dengan fasilitas yang ada, rasanya resikonya terlalu besar. Akhirnya beliau mengambil keputusan, yaitu menyarankan pasien ini untuk datang ke tempat praktek pribadi beliau. Oiya saya tambahkan infonya, beliau ini juga membuka praktek pribadi di tempat lain pada malam harinya. Alasan beliau adalah karena peralatan di tempat praktek beliau lebih lengkap, dan obat biusnya juga lebih bagus sehingga resiko yang ada bisa diminimalisir. Namun isu yang muncul kemudian adalah bahwa beliau ini sedang mempromosikan "produknya sendiri", selain itu muncul isu bahwa pasien yang mau membayar pasti akan dilayani lebih baik dibanding pasien yang gratis. Maksudnya karena pasien yang datang ke RS itu tidak dipungut biaya, sehingga merasa tidak diberi pelayanan maksimal, sedangkan jika ingin pelayanan maksimal maka harus datang ke tempat praktek dokter itu dan membayar mahal. Padahal beliau tidak bermaksud demikian. Oleh karena itulah beliau mengambil keputusan untuk keluar sebagai PNS dan membuka praktek pribadi, beliau merasa lebih maksimal dalam menangani pasien dengan barbagai kondisi.
Pengalaman berikutnya saat anak saya yang saat itu berusia 2 tahu sedang sakit di perjalanan. Saat itu saya dan suami beserta rombongan berwisata ke Bali, sesampainya di sana, anak saya panas tinggi, akhirnya saya dan suami malam-malam mencari RS terdekat, berjalan kaki pula dari hotel tempat kami menginap. Alhamdulillah setelah sempat berputar-putar, sampailah di RS. Anak saya ditangani oleh dokter jaga. Setelah diperiksa perut dan segala macamnya, serta bertanya-tanya kepada saya dan suami, dokter itu kemudian memberikan kami 4 jenis sirup yang berbeda-beda yang harus diminumkan masing-masing 3 kali sendok takar dalam sehari. Jadi kalau ditotal, anak saya harus minum 12 kali dalam sehari (4 jenis sirup x 3 kali sehari). Saya sudah lupa waktu itu diagnosanya apa anak saya waktu itu dan saya juga sudah lupa apa saja jenis sirup yang diberikan. Beberapa hari kemudian sesampainya di rumah, anak saya masih sering panas. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk kembali membawa si kecil ke dokter spesialis anak terdekat. Dokter anak ini sudah tua secara fisik, mungkin usianya sudah 70 tahunan. Beliau memeriksa dengan cekatan lalu memberikan penjelasan tentang kemungkinan sebab-sebab sakitnya. Saya kemudian menunjukkan obat yang telah diberikan pada anak saya, beliau sangat terkejut. Menurut beliau, kok bisa balita dikasih obat sebanyak ini? Menurut beliau, anak-anak itu disuruh minum obat satu saja sulitnya minta ampun, lha ini apalagi 4, lha bagaimana mau masuk, gimana mau sembuh. Beliau berkali-kali mengungakapkan keheranannya dengan ekspresi bermacam-macam. Saya pribadi juga baru ngeh jika anak kecil itu jika harus minum obat cukup diracik untuk sekali minum. Saya juga merasakan sih betapa sulitnya meminta si kecil untk meminum 4 sirup yang berarti 4 kali suap, plus harus 3 kali dalam sehari.Si kecil sudah menangis duluan melihat sendok takar obat, meski sirupnya berasa manis. Akhirnya si kecil diberi resep, yang ternyata berupa 1 macam puyer saja untuk membunuh virus yang ada di tubuh si kecil, dan dihentikan pemberian puyernya jika si kecil sudah sembuh karena puyer itu tidak mengandung antibiotik sama sekali. Beliau juga mengklaim bahwa tidak pernah memberikan resep antibiotik terhadap pasien anak-anaknya. Oiya saya juga pernah secara tidak sengaja mengeluhkan sakit yang saya alami, lalu beliau secara spontan menuliskan resep untuk saya dan menuliskan usia saya dengan angka 17 tahun. Ketika saya coba ingatkan, beliau memberi penjelasan bahwa tentu saja beliau tahu kalau usia saya lebih dari itu, cuma karena beliau adalah dokter spesialis anak tentu bolehnya hanya memberi resep untuk anak-anak yang maksimal usianya 17 tahun. Jadi, ya...jadilah saya menyamar menjadi anak-anak he3.... Oiya Alhamdulillah saya dan anak saya sembuh sebelum obatnya habis. Mungkin selain obat, saya dan anak saya sembuh juga karena merasa nyaman saat bertemu dan ngobrol dengan dokter tersebut, jadi ada rasa optimis pasti sembuh. Disamping pasti atas ijin Allah SWT tentunya.
Pengalaman saya selanjutnya saat pergi ke puskesmas C. Disana saya sangat tidak nyaman, karena saya merasa tidak dilayani dengan baik. Perawat yang jaga berbicara dengan nada membentak, saat saya bertanya sesuatu juga demikian. Mungkin saya mengharapkan standar pelayanan yang terlalu tinggi untuk ukuran puskesmas mungkin. Mungkin??? Akhirnya suami menyarankan untuk pergi ke puskesmas atas saran salah seorang teman yang kebetulan bekerja di puskesmas setempat. Disana saya mendaftar seperti biasa, lalu mengantri seperti pasien yang lain. Kemudian secara tidak sengaja, saya dan suami bertemu dengan teman tersebut. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba beliau mengajak saya dan suami langsung masuk ke ruang periksa. Saya sempat bingung, namun kemudian beliau menjelaskan bahwa tidak apa-apa masuk duluan, karena beliau sudah menyampaikan pada dokter yang jaga, bahwa saya adalah teman beliau. Saya dan suami akhirnya mengikuti ajakan beliau dengan rasa tidak enak hati dengan pasien lain. Berkali-kali suami menjelaskan bahwa akan tetap menunggu giliran seperti pasien lain, namun beliau memaksa. Ya akhirnya mau, tidak mau. Setelah dari puskesmas tersebut, saya dan suami memiliki pemikiran yang sama, bahwa tidak akan kembali ke puskesmas tersebut, insyaAllah. Ya....karena rasa bersalah kami. Semoga Allah SWT mengampuni kelemahan kami.
Itulah segelintir pengalaman manis dan pahit saya, beserta suami dan anak saya saat berhubungan dengan dokter. Saya sendiri optimis diluar sana, di negara Indonesiaku tercinta, masih banyak dokter-dokter yang baik hati, yang bersungguh-sungguh ingin mengabdi, dan mengamalkan ilmu mereka. Doa saya adalah, semoga dokter-dokter baik ini tidak sulit untuk ditemukan oleh orang-orang yang membutuhkan, Amin.
Sejenak kemudian saya terpikir untuk berbagi pengalaman saya terkait dengan hubungan saya dengan para dokter yang mungkin bisa memberikan manfaat bagi pembaca. Kisah saya diawali saat saya hamil, anak pertama, tentu saja saya ingin mendapatkan pelayanan dari Rumah Sakit dan dokter yang terbaik, setidaknya menurut kemampuan dan kondisi finansial saya dan suami. Lalu saya dan suami memutuskan untuk memilih dokter kandungan di sebuah RS A dengan dokter A. Kesan pertama saya sangat positif karena saya melihat pasiennya banyak, saat masuk resepsionis pelayanannya juga ramah. Setelah mendaftar, seperti biasa, saya dan ibu-ibu hamil lainnya menunggu untuk dipanggil sesuai nomor antrian pendaftaran. Tidak lama kemudian, pasien mulai dipanggil, anehnya bukan satu persatu, namun 3 nama sekaligus. Saya sedikit heran, tapi ya sudahlah, toh saya belum tahu maksudnya, akhirnya saya dan 2 ibu lainnya masuk ke dalam ruang yang sama, tentu saja saya mengajak suami saya untuk masuk ke ruangan dokter yang sama. Di dalam ada seorang dokter dan seorang asistennya, entah itu bidan atau perawat saya kurang begitu paham. Rupanya kami bertiga ini diperiksa secara bersama-sama di ruang yang sama. Bisa kebayang tuh bagaimana rasa tidak nyamannya suami saya saat itu yang sedang mendampingi saya, lha secara otomatis pula kan suami menjadi saksi saya dan ibu lainnya yang periksa di situ, yang seharusnya itu menjadi privasi masing-masing. Konsultasi juga menjadi tidak nyaman karena konsultasi juga berjamaah, otomatis kita bisa saling mendengar isi keluhan pasien satu dengan yang lainnya, mirip rapar RT jadinya. Itulah saat pertama dan insyaAllah terakhir kalinya saya memeriksakan kehamilan saya di RS itu.
Atas saran dari beberapa orang, saya akhirnya memutuskan pindah ke RS B, Alhamdulillah saya dilayani dengan baik, hak privasi saya terpenuhi. Saya bisa berkonsultasi dengan nyaman dan tanpa terburu-buru waktu. Bahkan beberapa kali pula saya dan suami ngobrol selain. Sedangkan saat sekarang ini, semua bisa masuk sekolah kedokteran asalkan mampu membayar mahal, sebaliknya yang pandai namun tidak memiliki biaya maka kesempatannya akan kecil untuk masuk sekolah kedokteran. Efek sampingnya, karena sekolah kedokteran itu mahal, maka setelah menjadi dokter, para dokter itu meminta bayaran yang mahal pula.Dan titik beratnya bukan lagi pada melayani masyarakat. Begitu menurut pendapat beliau. Setidaknya beliau mau terbuka tentang pendapatnya saat saya dan suami berbagi cerita tentang profesinya.
Pengalaman berikutnya saat saya mengalami ketergantungan pada seorang dokter gigi. Beberapa kali saya ngobrol tentang banyak hal di sela-sela saya kontrol ke tempat praktek beliau. Beliau awalnya bekerja di sebuah RS milik pemerintah, namun kemudian memutuskan untuk keluar dari pegawai negeri sipil yang menurut saya itu keputusan yang patut untuk disayangkan. Bukankah menjadi PNS itu menjadi idaman? Khususnya saya he3....yang saat itu sangat ingin menjadi PNS. Beliau menceritakan bahwa saat bekerja di instansi itu ada perasaan kurang puas. Beliau mengeluhkan obat-obatan yang disediakan RS adalah obat-obatan yang kualitasnya rendah, di sisi yang lain beliau diminta untuk melayani pasien dengan sebaik-baiknya dengan resiko seminimal mungkin. Nah ini yang membuat beliau tidak adil. Jika ada pasien gigi yang parah, yang membutuhkan penanganan ekstra seolah-olah semua beban ada di pundak beliau karena obat seperti bius dan perlengkapan yang ada kurang memadai, sedangkan mau tidak mau, pasien harus ditangani, tidak boleh ditelantarkan. Namun jika dipaksakan dengan fasilitas yang ada, rasanya resikonya terlalu besar. Akhirnya beliau mengambil keputusan, yaitu menyarankan pasien ini untuk datang ke tempat praktek pribadi beliau. Oiya saya tambahkan infonya, beliau ini juga membuka praktek pribadi di tempat lain pada malam harinya. Alasan beliau adalah karena peralatan di tempat praktek beliau lebih lengkap, dan obat biusnya juga lebih bagus sehingga resiko yang ada bisa diminimalisir. Namun isu yang muncul kemudian adalah bahwa beliau ini sedang mempromosikan "produknya sendiri", selain itu muncul isu bahwa pasien yang mau membayar pasti akan dilayani lebih baik dibanding pasien yang gratis. Maksudnya karena pasien yang datang ke RS itu tidak dipungut biaya, sehingga merasa tidak diberi pelayanan maksimal, sedangkan jika ingin pelayanan maksimal maka harus datang ke tempat praktek dokter itu dan membayar mahal. Padahal beliau tidak bermaksud demikian. Oleh karena itulah beliau mengambil keputusan untuk keluar sebagai PNS dan membuka praktek pribadi, beliau merasa lebih maksimal dalam menangani pasien dengan barbagai kondisi.
Pengalaman berikutnya saat anak saya yang saat itu berusia 2 tahu sedang sakit di perjalanan. Saat itu saya dan suami beserta rombongan berwisata ke Bali, sesampainya di sana, anak saya panas tinggi, akhirnya saya dan suami malam-malam mencari RS terdekat, berjalan kaki pula dari hotel tempat kami menginap. Alhamdulillah setelah sempat berputar-putar, sampailah di RS. Anak saya ditangani oleh dokter jaga. Setelah diperiksa perut dan segala macamnya, serta bertanya-tanya kepada saya dan suami, dokter itu kemudian memberikan kami 4 jenis sirup yang berbeda-beda yang harus diminumkan masing-masing 3 kali sendok takar dalam sehari. Jadi kalau ditotal, anak saya harus minum 12 kali dalam sehari (4 jenis sirup x 3 kali sehari). Saya sudah lupa waktu itu diagnosanya apa anak saya waktu itu dan saya juga sudah lupa apa saja jenis sirup yang diberikan. Beberapa hari kemudian sesampainya di rumah, anak saya masih sering panas. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk kembali membawa si kecil ke dokter spesialis anak terdekat. Dokter anak ini sudah tua secara fisik, mungkin usianya sudah 70 tahunan. Beliau memeriksa dengan cekatan lalu memberikan penjelasan tentang kemungkinan sebab-sebab sakitnya. Saya kemudian menunjukkan obat yang telah diberikan pada anak saya, beliau sangat terkejut. Menurut beliau, kok bisa balita dikasih obat sebanyak ini? Menurut beliau, anak-anak itu disuruh minum obat satu saja sulitnya minta ampun, lha ini apalagi 4, lha bagaimana mau masuk, gimana mau sembuh. Beliau berkali-kali mengungakapkan keheranannya dengan ekspresi bermacam-macam. Saya pribadi juga baru ngeh jika anak kecil itu jika harus minum obat cukup diracik untuk sekali minum. Saya juga merasakan sih betapa sulitnya meminta si kecil untk meminum 4 sirup yang berarti 4 kali suap, plus harus 3 kali dalam sehari.Si kecil sudah menangis duluan melihat sendok takar obat, meski sirupnya berasa manis. Akhirnya si kecil diberi resep, yang ternyata berupa 1 macam puyer saja untuk membunuh virus yang ada di tubuh si kecil, dan dihentikan pemberian puyernya jika si kecil sudah sembuh karena puyer itu tidak mengandung antibiotik sama sekali. Beliau juga mengklaim bahwa tidak pernah memberikan resep antibiotik terhadap pasien anak-anaknya. Oiya saya juga pernah secara tidak sengaja mengeluhkan sakit yang saya alami, lalu beliau secara spontan menuliskan resep untuk saya dan menuliskan usia saya dengan angka 17 tahun. Ketika saya coba ingatkan, beliau memberi penjelasan bahwa tentu saja beliau tahu kalau usia saya lebih dari itu, cuma karena beliau adalah dokter spesialis anak tentu bolehnya hanya memberi resep untuk anak-anak yang maksimal usianya 17 tahun. Jadi, ya...jadilah saya menyamar menjadi anak-anak he3.... Oiya Alhamdulillah saya dan anak saya sembuh sebelum obatnya habis. Mungkin selain obat, saya dan anak saya sembuh juga karena merasa nyaman saat bertemu dan ngobrol dengan dokter tersebut, jadi ada rasa optimis pasti sembuh. Disamping pasti atas ijin Allah SWT tentunya.
Pengalaman saya selanjutnya saat pergi ke puskesmas C. Disana saya sangat tidak nyaman, karena saya merasa tidak dilayani dengan baik. Perawat yang jaga berbicara dengan nada membentak, saat saya bertanya sesuatu juga demikian. Mungkin saya mengharapkan standar pelayanan yang terlalu tinggi untuk ukuran puskesmas mungkin. Mungkin??? Akhirnya suami menyarankan untuk pergi ke puskesmas atas saran salah seorang teman yang kebetulan bekerja di puskesmas setempat. Disana saya mendaftar seperti biasa, lalu mengantri seperti pasien yang lain. Kemudian secara tidak sengaja, saya dan suami bertemu dengan teman tersebut. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba beliau mengajak saya dan suami langsung masuk ke ruang periksa. Saya sempat bingung, namun kemudian beliau menjelaskan bahwa tidak apa-apa masuk duluan, karena beliau sudah menyampaikan pada dokter yang jaga, bahwa saya adalah teman beliau. Saya dan suami akhirnya mengikuti ajakan beliau dengan rasa tidak enak hati dengan pasien lain. Berkali-kali suami menjelaskan bahwa akan tetap menunggu giliran seperti pasien lain, namun beliau memaksa. Ya akhirnya mau, tidak mau. Setelah dari puskesmas tersebut, saya dan suami memiliki pemikiran yang sama, bahwa tidak akan kembali ke puskesmas tersebut, insyaAllah. Ya....karena rasa bersalah kami. Semoga Allah SWT mengampuni kelemahan kami.
Itulah segelintir pengalaman manis dan pahit saya, beserta suami dan anak saya saat berhubungan dengan dokter. Saya sendiri optimis diluar sana, di negara Indonesiaku tercinta, masih banyak dokter-dokter yang baik hati, yang bersungguh-sungguh ingin mengabdi, dan mengamalkan ilmu mereka. Doa saya adalah, semoga dokter-dokter baik ini tidak sulit untuk ditemukan oleh orang-orang yang membutuhkan, Amin.