Hari ini tidak ada kuliah. Kecewa? Ah enggak juga, meski hal ini sudah terjadi beberapa kali, mata kuliah yang sama, oleh dosen yang sama, emmm lama-lama terbiasa juga. Karena itulah aku sudah menyiapkan rencana sama teman baikku, Mala. Jika hari ini kuliah kosong lagi, kita sepakat akan cuci mata, kali ini sasarannya adalah Delta Plaza. Sasaran minggu lalu juga Delta Plaza, sebulan yang lalu juga sama. Ya...iyalah...tempat nongkrongnya itu-itunya juga, cari yang paling dekat, sekali angkot, biar ndak boros, namanya juga anak kuliahan.
Kami segera mencari angkot ke jurusan yang di tuju. "Delta, pak", kataku pada sopir angkot, sembari masuk dan segera duduk, diikuti Mala yang kemudian duduk di sebelahku sambil memegangi rok panjangnya agar tidak terinjak kakinya sendiri. "Surabaya oh Surabaya....panasmu tiada tara...", celetuk Mala sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya. "Emang Trenggalek ndak panas?", sindirku padanya. Mala hanya hanya melengos, melempar pandangannya keluar jendela.
Masih jam 1 siang. Belum makan siang. "Kemana dulu?", tanyaku. "Toko sepatu lantai 2 ya, yang kemarin aku cerita, kali aja masih ada diskon", jawab Mala sambil menarik tanganku ke arah eskalator. "Sepatu lagi?!", tanyaku heran. "Yah kan yang minggu lalu pas kesini belum jadi beli, uangnya kurang. Nah kemarin mamaku sudah transfer uang bulan ini...", jawabnya sambil mengedip-kedipkan matanya sambil terus menarik tanganku.
Sudah 1 jam lebih 15 menit kami melihat-lihat sepatu di toko itu, tapi Mala belum juga menemukan mana yang cocok. Mbak penjaganya mungkin capek juga melayani mahasiswi yang nggak yakin beli ini. Yang kekecilan lah, yang kemahalan lah, yang mirip sama punya si anu lah....aduh banyak banget alasan Mala. "Ya sudah kalau ndak niat beli ya kita keluar aja sebelum mbaknya sewot tuh...", ujarku sambil menarik tasnya di bahunya untuk segera keluar dari toko sepatu itu. Tak ayal Mala berjalan sempoyonyan karena bahunya tertarik-tarik. "Pede aja gitu, meski nggak bakal beli, kita tanya ini itu, pembeli kan raja..."gerutu Mala. "Raja mana yang ngerasa kemahalan, milih ini itu cari yang murah....nggak ada!!", protesku.
Jam makan siang masih setengah jam an lagi. Yah...aku sama Mala biasanya nunggu jam 3 tepat untuk bisa makan di restoran cepat saji yang menyediakan menu hemat seporsi cuma 5 ribu rupiah plus minum, menu itu hanya tersedia mulai jam 3 sampai jam 5 sore saja. Biasanya sebelum jam 5 menu hemat itu sudah habis, ludes, mungkin oleh mahasiswa semacam kami juga yang menghabiskan waktu di mall ini. Akhirnya kami mengelilingi booth-booth demi menunggu waktu makan. Kurang 5 menit kami segera menuju restoran cepat saji yang dimaksud, untuk mengantri. Nah...kan sudah ada 5 orang yang mengantri juga menunggu jam menu hemat. Begitu jam 3 tepat, pelayan restoran itu segera meneriakkan sesuatu yang menandakan menu hemat telah tersedia. Kami pun merapatkan barisan antrian.
Kami mencari tempat duduk dekat jendela. Tiba-tiba langit mulai mendung. Kami menikmati makan siang "mewah" kami dengan lahap. Sesekali Mala menceritakan seseorang yang aku tidak kenal, sejak 2 hari lalu sebenarnya dia mulai sering menceritakannya, hanya saja aku tidak pernah memperhatikannya, dan malas juga mengomentari tentang si Rudy atau Bagus, entah siapa namanya bagiku tidak penting, poin pentingnya adalah Mala sedang penasaran sama dia, titik.
Hujan mulai turun dengan derasnya, membuat orang-orang yang berada di luar mall berlarian mencari tempat berteduh, banyak yang memilih masuk ke dalam mall, ada juga yang berdiri di luar mall berdiri merapat agar tidak terkena cipratan air hujan.
Aku masih asyik makan dan mengobrol dengan Mala, mencoba mengalihkan perhatian dari hujan dan berharap semoga pas pulang nanti hujan sudah reda. Aku melihat ke arah luar lagi, kali ini yang berteduh semakin banyak. Tapi, eh....kebanyakan dari mereka ternyata anak-anak yang badannya sudah basah kuyup, sambil membaya payung besar di tangannya. Lho membawa payung kok berteduh? Ah ternyata mereka anak-anak pengojek payung. Mala masih nerocos, sementara aku terdiam melihat serombongan anak pengojek payung.
Rata-rata mereka seusia anak SD, mungkin kelas 4 atau 6, ada juga yang remaja, tapi cuma ada 2 orang saja. Mereka mengenakan kaos oblong dan celana pendek, rata-rata mereka tidak memakai sandal, kaki-kaki mereka asyik menyapu-nyapu air dan menciptakan cipratan-cipratan kecil di sekelilingnya, sembari diiringai tawa diantara mereka. Mereka tidak khawatir kebasahan, toh baju mereka sudah basah kuyup sedari tadi.
Terlihat seorang perempuan cantik bersepatu jinjit, menuju pintu keluar mall, segera anak kecil berbaju garis-garis berlari mendekatinya sambil menyodorkan payung besarnya. Perempuan cantik itu segera membuka dompetnya, menyerahkan lembar uang, lalu menerima payung dari tangan kecil itu. Perempuan cantik itu nampak berjalan tergesa-gesa meninggalkan begitu saja anak kecil itu di belakangnya yang ternyata menuju taksi yang sudah menunggu di ujung jalan. Begitu perempuan itu masuk ke dalam taksi, tangan anak kecil itu segera menerima payung dari perempuan cantik itu, menutupnya dan kembali ke depan mall, tempat dia dan teman-temannya sesama pengojek payung menunggu pelanggan.
Datang lagi, kali ini sepasang laki-laki dan perempuan, mereka bergandengan tangan, mungkin pasangan muda yang baru menikah, masih terlihat mesra. Mereka segera disambut oleh anak-anak pengojek payung itu. Kali ini pengojek payung yang mendapat jatah adalah remaja yang paling jangkung tubuhnya diantara mereka. Dia segera menyodorkan payung merah besarnya pada pasangan muda itu. Lalu segera berjalan di belakang keduanya, berhujan-hujan. Aku masih mengamati melalui kaca pembatas restoran, sambil sesekali menjawab obrolan Mala sekenanya saja. Anak-anak itu sesekali memeluk pundaknya sendiri, mengusap-usap rambut mungkin agar air hujan sedikit pergi dari tubuhnya. Entah kenapa mereka tidak memakai jas hujan untuk melindungi dirinya, atau membawa payung kecil untuk dirinya?
"Mungkin nggak dia ada rasa sama aku?", tanya Mala, pertanyaan yang tiba-tiba tertangkap jelas di telingaku. "Yah...bisa jadi...", jawabku mencoba serius, padahal sebenarnya aku tidak tahu siapa yang dimaksud Mala dalam pertanyaannya. Mala tersenyum sambil melayangkan pandangannya keluar, terlihat bahagia sekali rona wajahnya. Sepertinya dia hanya membutuhkan konfirmasi saja, bukan jawaban dariku. Huh...dasar sok yakin, dalam hatiku.
"Pulang yuk...", ajakku. "Eh tapi kan masih hujan?", sanggah Mala. "Nggak papa lah, kita sewa jasa pengojek itu", jawabku sambil memalingkan wajahku ke arah anak-anak itu. "Mahal tau...", sela Mala. "Aku yang traktir.", jawabku sambil menarik tangannya untuk segera keluar dari restoran cepat saji itu.
Kali ini anak yang berambut lurus yang menyambutku. "Payung mbak", tawarnya sambil tersenyum. "Iya dek, tapi masih nunggu angkot P dulu, nggak papa?", "Nggak papa mbak, saya tunggu di sini", jawabnya sambil menutup kembali payungnya yang sempat dibukanya sedikit. "Siapa namamu?", tanya Mala. "Riski mbak", jawabnya. "Umur kamu berapa, untuk apa kamu ngojek payung, uangnya untuk apa?", Mala tiba-tiba melontarkan pertanyaan bertubi-tubi, dengan segera aku menyenggol tangannya. Riski masih tersenyum, "Bantu ibu saya mbak", jawabnya pelan sambil mengusap tetes air hujan yang hampir masuk ke matanya. "Bapak kerja dimana?", tanyaku memberanikan diri, melontarkan pertanyaan yang kuanggap agak sensitif itu. "Bapak dulu kerja di Jakarta mbak, tapi sampai sekarang belum kembali, eh mbak itu ada angkot P..." teriaknya. "Eits...ndak usah dulu dek, nggak papa ya...nanti aku kasih dobel deh ongkos ojeknya ya...", jawabku spontan saja, entah mengapa tiba-tiba aku sangat penasaran ingin mendengar kisah Riski. Riski hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku, sementara Mala menghela nafas sambil memandang kecewa angkot yang terlewat sia-sia.
"Oiya namaku Siska, dan ini Mala", lanjutku memperkenalkan diri. "Terus bapak kemana sekarang?", tanya Mala tiba-tiba, entah karena merasa penasaran juga atau biar cepat kelar "wawancara" nya agar tidak melewatkan angkot lagi? "Eh maaf ya Riski", agar Riski tak salah paham. "Nggak papa mbak, teman-teman Riski juga sering nanya itu, kadang mengolok-olok juga karena Riski nggak punya bapak lagi. Kata ibu, mungkin bapak sedang menabung banyak-banyak buat sekolah Riski dan adik, dan bapak nggak akan pulang kalau uangnya belum banyak". "Ibu, kerja?", tanyaku. "Membantu di warung milik tetangga mbak". "Sudah lama ngojek payung?", "Sejak kelas 1 mbak, yah...kalau musim hujan begini saja", jawabnya. "Lho sekarang kamu kelas berapa? Kelas 3. Ooo....kalau ndak lagi hujan biasanya kamu ngapain?, giliran Mala. "Jualan koran pagi-pagi mbak, sebelum sekolah biasanya, tapi sering terlambat sekolah jadinya. Pas hujan begini jualan korannya libur, ngojek dulu", cerita Riski sambil sesekali mengayun-ayunkan payungnya.
"Oo....biasanya emang disini ngojeknya?" selidikku. "Baru seminggu ini aja mbak, sebelumnya biasanya di Mall TP mbak, tapi terakhir kali ngojek disana dimarah-marahi sama satpam baru, mbak, galak banget orangnya, katanya kami mengganggu ketertiban, akhirnya pindah kesini mbak", jawabnya sambil berapi-api. "Tapi ya itu, yang ngojek di sini jadi banyak banget", suaranya memelan. "Mmmm.....berebut dong?", sela Mala. "Ya kami anak baru harus ngalah sama anak-anak yang sudah lama ngojek disini mbak, daripada dimusuhi, nanti malah ndak bisa ngojek lagi.
"Mbak itu angkotnya sudah datang lagi...", kata Riski sambil menunjuk ke arah angkot P yang mendekat. "Oh iya boleh...", jawabku sedikit ragu antara iya dan tidak. Riski mengulurkan payung besarnya. "Oiya...", selaku. "Kalau boleh tau, uang yang kamu dapatkan dari ngojek untuk apa?" "Disimpan mbak, dititipkan ibu untuk tabungan, buat bantu ayah agar tabungannya cepat banyak dan ayah tak perlu lagi berlama-lama pergi jauh mencari uang", jawabnya. Aku tak sempat melontarkan pertanyaan lagi, aku dan Mala segera berlari menuju angkot diikuti Riski yang berlari di belakang kami. Tanganku memberi isyarat agar dia berpayung dengan kami, tapi kepalanya menggeleng. Sesampainya di pintu angkot, aku segera mengambil uang 10 ribu dari angkot dan kuberikan padanya. "Semoga uangmu lekas banyak", ucapku lirih padanya. Riski hanya terdiam menatap uang yang baru saja kuberikan padanya, sampai angkot yang kunaiki meninggalkannya.
Riski, seorang anak hujan, tumbuh diantara hujan, dibesarkan oleh hujan, pada hujan pula Riski berharap agar ayahnya lekas pulang. "Sstt....banyak banget ngasih uangnya...", tegur Mala membuyarkan lamunanku. Aku tak menjawabnya, kualihkan pandangan mataku kembali kepada hujan.