Namaku Rahmi, panjangnya, em...tidak usah ya...panggil Rahmi aja. Aku baru bekerja di kantor ini, satu bulananlah, kantor apa, rahasia deh....yang jelas di kantor ini banyak pekerjanya laki-laki. Hemmm laki-laki...salah satunya itu yang membuatku tidak terlalu nyaman bekerja disini, khususnya karena seorang laki-laki.
Awalnya adaptasi lancar saja, meski aku belum punya teman akrab, tapi teman untuk "say hai...", ada. Aku tidak terlalu butuh juga sih teman akrab untuk curhat. Tujuanku disini untuk bekerja...ya bekerja saja. Meskipun sebagian besar keluargaku berharap dengan bekerja, aku bisa memperluas pergaulanku, menemukan calon suami, dan segera menikah. Huffftt....lagi-lagi menikah,...ini semua karena dua adik perempuanku sudah menikah saat mereka masih kuliah. Sedang aku, masih sibuk dengan diri sendiri. "Bekerja memang harus serius, harus itu, tapi kamu juga harus memikirkan calon suami...", kata ayah suatu ketika saat aku menyampaikan alasanku untuk serius bekerja dulu.
Di rumah diceramahi soal calon suami, di tempat kerja....duh...laki-laki satu ini benar-benar menyebalkan.
Awalnya saat rapat di depan jajaran direksi sekaligus perkenalanku sebagai pegawai baru di hadapan semua pegawai, perasaanku sudah tidak enak. Matanya itu lho...tidak sungkan-sungkan menatapku, pake melongo pula sampai disenggol teman sebelahnya. Benar-benar tidak sopan. Selanjutnya tidak jarang aku memergokinya curi-curi pandang ke arahku.
Sebel? Jelas, aku merasa direndahkan oleh makhluk yang satu ini. Tersanjung? Idih....jauh kaliii..... Semakin hari, laki-laki satu ini...emm sebut nama nggak ya....oke lah, sebut saja Sigit, belum menikah, sudah punya jabatan di kantor ini, emmm lumayan good looking sih....tapi ndak punya sopan-santun, ya matanya itu yang ndak sopan.
"Eh...tuh orangnya..." sekilas ku mendengar seseorang berbisik-bisik dengan Sigit saat aku berjalan ke arah kantin untuk makan siang. Ah...cari perkara lagi, batinku....kenapa laki-laki ini ngobrolin aku dengan laki-laki lain? Sudah berapa kali dia melakukan ini? Sudah berapa laki-laki yang dia ajak ngomongin tentang aku,....jangan-jangan seisi kantor ini...hiii...ngeri...
Apa sih sebenarnya motifnya? Mencuri pandang lah.....ngomongin di belakang lah.... "Nah...mungkin dia naksir temen kamu....", jawab ayah saat aku membicarakan Sigit dengan sedikit kamuflase bahwa itu terjadi pada teman kantorku.
Naksir?....Ah.....jadi kacau pikiranku...
Pagi itu aku sedikit terlambat masuk ke kantor, aku terburu-buru dan ups....saat terburu-buru membuka pintu...."Awww..." aku mendengar teriakan laki-laki di balik pintu...rupanya Sigit yang juga sedang menuju ke pintu, pintu yang kubuka itu secara tidak sengaja mengenai bahunya dengan keras. "Maaf..." kataku spontan, sesaat aku merasa bersalah. Matanya lagi-lagi menatap tajam ke arahku....lalu...tiba-tiba tangannya mengarah ke bahuku, sebelum sampai, aku segera menghindar dan pergi dengan menunjukkan wajah judesku. Hilang sudah rasa bersalahku seketika itu.
Mulai berani....gumamku dalam hati. Semenjak saat itu, aku tak sungkan-sungkan lagi menunjukkan rasa ketusku, sudah keterlaluan sekali menurutku. Hari-hari berikutnya, beberapa kali pula dia sepertinya berusaha ingin mengajakku bicara, tapi langsung kusambut dengan muka masamku. Rasanya masih belum bisa memaafkan perilaku-perilaku sebelum-sebelumnya. Hingga puncaknya.....siang itu saat aku hendak ke kantin seperti biasa. Dia sudah menyambut di dekat pintu masuk kantin. "Rahmi...." katanya berusaha sesopan mungkin, kali ini dia menahan matanya, sudah kehilangan nyali untuk menatapku rupanya. "Saya minta maaf...", lanjutnya lirih, lalu pergi tanpa melanjutkan kalimatnya ataupun menunggu jawabanku.
Aku terpaku sesaat, antara terkejut dan penuh tanda tanya. Lalu aku segera mengabaikan perasaanku, mendekati penjual kantin dan memesan makan siang kesukaanku. "Seperti biasa ya mbak, kali ini minumnya es jeruk saja".
Aku belum pernah memesan es sebelumnya, hanya saja siang aku aku merasa sangat-sangat kegerahan di ruang kantin kantor yang ber AC ini.
Hari-hari berikutnya lebih tenang bagiku, tidak aka lagi tatapan mata ataupun curi-curi pandang. Juga tak ada lagi kasak-kusuk dibelakangku. Semuanya tenang, hanya saja kepalaku menjadi penuh tanya, kenapa....kenapa...dan kenapa? Oh....harus bertanya kepada siapa? Harus kucurahkan kepada siapa? Aku tak cukup berani menumpahkan isi hatiku pada seorang teman dekat...atau pada ayahku sekalipun aku menceritakan kisah atas nama temanku. Haruskah aku berkutat dengan diary....lagi? Sudah lama tak kulakukan itu, menurutku itu kekanak-kanakan sekali...semakin sesak dada ini.
Benarkah aku mulai merindukan tatap matanya?
Dear, Diary....
###############################################################################
Namaku Galuh Sigit Setiawan, biasa dipanggil Sigit oleh teman-temanku. Aku sudah lama bekerja di kantor ini, semenjak kuliah aku mulai magang di kantor ini, jadilah saat aku lulus kuliah, aku mendapatkan kepercayaan untuk mengelola sebuah divisi di kantor ini. Aku syukuri keberuntunganku ini.
"Hei...ke ruang rapat....segera...", kata Bagus tiba-tiba. "Kata staf personalia ada pegawai baru", lanjutnya "Trus...", sahutku. "Perempuan....", lanjutnya berapi-api. "Biasa aja lah Gus", timpalku kalem. "Tumben kan?...seribu satu...", terangnya lagi. "Woi...nyadar...", sambil kulempar buku yang kebetulan ada di atas mejaku, spontan membuat dia kaget dan reflek menangkapnya. "Sadis kau....", protesnya. Aku segera berjalan mendahuluinya ke ruang rapat.
"Namaku Rahmi, saya pegawai baru bagian HRD", kata pegawai baru itu di depan semua peserta rapat. Deg....tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku merasa sangat-sangat mengenal wajahnya, benarkah itu dia? "Ssst...", tiba-tiba Bagus menyenggol bahuku dengan keras. Aku segera mengalihkan tatapan mataku dari pegawai baru itu.
Bukan Rahmi namanya, aku masih ingat dengan segenap hatiku, namanya bukan Rahmi, tapi Rina, mengapa wajahnya begitu mirip? Apakah dia Rina yang mengaku sebagai Rahmi? Atau nama sebenarnya Rahmi, hanya saja dia mengenalkan padaku sebagai Rina? Kenapa? Apa alasannya? Tiba-tiba saja masa laluku berkelebatan kesana-kemari. Masa lalu yang mulai sanggup aku kubur dalam-dalam, kini tiba-tiba saja ada di depan mata, di kantor ini, satu kantor denganku.
"Heh......", tiba-tiba saja Bagus memukul keras bahuku. "Cie...mulai melamun...awas sebentar lagi up-date status galau" sambungnya dengan mimik setengah serius. "Cerita dong....gosip-gosip antar lelaki...100 persen dijamin kerahasiaannya, tidak akan tembus ke media massa ataupun intel rahasia...", cerocosnya. "Kerja Bro....", coba tak menghiraukannya, kembali mengetikkan sesuatu ke laptop di depanku.
Tiap hari Bagus mulai mengintimidasi, sementara aku masih kebingungan dengan fakta di depan mata dan kenangan-kenangan masa lalu. Beberapa kali mencuri-curi untuk mengamat-amati wajahnya. Meyakinkan apakah orang yang kini sekantor denganku adalah orang yang sama yang dulu aku kenal? Tapi wajahnya kenapa begitu sinis terhadapku? Tidakkah dia mengenaliku? Atau kini dia tak mau lagi mengenaliku. "Anggap saja aku adikmu Mas, itu lebih nyaman buatku, atau jika terlalu sakit bagimu, anggap saja kita tak pernah bertemu", tiba-tiba kata terakhir Rina terngiang-ngiang di telingaku.
Semakin hari pikiranku mulai berputar-putar tentang itu-itu saja. "Kau ingin mendengar ceritaku?", tantangku pada Bagus. "Eeaaa mulai curhat nih....tenang bro bisa dipercaya", sambil menepuk-nepuk dadanya. "Sebenarnya males, tapi biar kamu nggak terus-terusan curiga dengan berbagai hipotesis-hipotesis gilamu itu!". "Ini baru mas bro yang ku kenal...", lanjutnya. "Syaratnya...traktir ya...", tantangku sambil mengangkat kedua alisku. "Waduh...kayak artis aja neh pake minta bayaran...". "Itu namanya negosiasi", sahutku.
Sembari makan siang di kantin, aku mulai bercerita tentang masa lalu yang tiba-tiba kembali muncul di kehidupanku. "Kenapa kamu ndak ngajak kenalan aja,...pura-pura belum kenal gitu kek...tanya kabar", kata Bagus mencoba menawarkan solusi yang nekat ala dirinya. "Kamu ndak ingat ya....apa kata-kata terakhirnya padaku? Dan aku perhatikan wajahnya nampak lebih judes sekarang, dan sepertinya dia sudah tidak mengenalku sama sekali.....sama sekali...!", jawabku sambil menekankan poin akhir kalimatku. "Wah gawat itu Git, sepertinya dia....eh...tuuh orangnya", tiba-tiba suara Bagus melirih karena tiba-tiba saja Rahmi atau Rina di depan pintu masuk kantin. Kami sama-sama terdiam, mencoba tenang dan segera menghabiskan makan siang. Suasananya sudah tidak lagi nyaman.
Pagi itu aku, begitu masuk ke ruang kerja, aku teringat ada map yang tertinggal di kendaraan. Aku segera berbalik, dan bergegas menuju tempat parkir. "Aww....!" tiba-tiba pintu yang akan kubuka, begitu saja menghantam bahuku dengan keras. "Maaf...", kata perempuan didepanku, terlihat terburu-buru. Sesaat aku merasakan kelembutan hatinya, tidak nampak judes seperti biasanya. Aku mencoba memberanikan diri untuk mulai berbicara, saat aku mengangkat tanganku mencoba mengingat-ingat sesuatu tentang dirinya, tiba-tiba saja dia menjauhkan dan memalingkan bahunya. Seketika raut wajahnya berubah, lalu pergi begitu saja meninggalkan aku dengan kata-kataku yang tertahan.
Beberapa hari ini, rasa penasaranku semakin memuncak.Aku mencoba saran Bagus untuk memulainya mengajak berbicara, tanpa tendensi...begitu sarannya, mencoba bijak. Tapi semakin aku berusaha mendekatinya, semakin ku melihat ekspresi wajahnya yang sangat tidak membuatku nyaman, dia semakin menghindar, dan menghindar. "Laki-laki tak mengenal putus asa Git....", celoteh Bagus tiba-tiba, mencoba menyemangati.
Hari ini semuanya jelas, semuanya terang sudah. Aku menarik nafas panjang, entah merasa lega atau merasa kecewa dengan kebenaran yang aku terima. Aku menata hatiku saat berangkat ke kantor pagi berikutnya.
"Gimana Git?, tanya Bagus menyambut kedatanganku di kantor. "Aku salah....", jawabku. "Apanya?", tanya Bagus penasaran. "Beberapa hari lalu aku mencoba menghubungi salah seorang teman lamaku yang aku ingat adiknya satu fakultas dengan Rina. Lalu aku menghubunginya, kujelaskan alasanku lalu aku mulai bertanya tentang Rina", aku berhenti sejenak menarik nafas sedalam-dalamnya, dan kali ini Bagus terlihat lebih tenang mendengarkan daripada biasanya. "Dia menjelaskan bahwa Rina sudah menikah saat kuliahnya memasuki semester ke 5, setelahnya dia mengambil cuti. Dia tak menyampaikan kabar itu padaku karena aku memang tak pernah mengungkapkan secara langsung perasaanku padanya. Dia hanya bingung, oleh sebab itu kata-kata terakhirnya hanya mengambang. Setelahnya aku tak pernah bertemu lagi dengannya". Aku terdiam, menunggu reaksi Bagus. "Kenapa dulu kau diam saja?", selidik Bagus. "Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku juga Gus, saat itu aku juga sedang sibuk-sibuknya membuat laporan magang, dan belum terpikir untuk serius tentang hal itu. Aku merasa kehilangan setelah aku sadar bahwa dia tidak pernah ada lagi di sekitarku. Aku merasa dia menghilang begitu saja.", lanjutku, lalu kami sama-sama terdiam agak lama. "Aku merasa mendapat kesempatan kedua, begitu melihatnya lagi". lanjutku lagi, memecah keheningan.
"Bagaimana dengan Rahmi?", tanya Bagus tiba-tiba. "Ya...", aku terdiam lagi sejenak sambil mengusap kepalaku. "Dia adalah kakak Rina, usianya terpaut hanya 1,5 tahun dan wajahnya begitu mirip memang, begitu kata adik temanku", jawabku sambil menahan rasa bersalah terhadap Rahmi yang selama ini kusangka Rina. Bagus menepuk bahuku, kali ini tanpa mengatakan apa-apa, lantas dia pergi menuju ke ruangannya. Aku masih tertunduk di mejaku.
Siang itu, aku sengaja menunggu kedatangan Rahmi di kantin. Kulihat dia berjalan ke arah kantin, aku segera berdiri, menghampirinya. "Rahmi....", Rahmi melihat ke arahku sedikit terkejut. "Saya minta maaf", lanjutku, lalu aku pergi meninggalkannya dengan wajah penuh heran. Aku tak ingin berlama-lama di hadapannya, ataupun mendengar respon darinya. Sepertinya aku belum sanggup menerima kemarahannya yang bisa saja tertumpah saat itu karena ulahku selama ini. Hatiku masih terlalu lelah mencoba menerima kenyataan yang beberapa hari lalu kuterima. Aku lega sudah meminta maaf padanya, dan aku tidak perlu konfirmasi apakah dia menerima atau tidak maafku itu.
The End