Selasa, 28 Januari 2014

Hari-hari Pertama di Sekolah

devsal.blogspot.com

Ara bersekolah di Newcastle masuk Year 1 atau sama dengan kelas 1. Anak-anak di sini rata-rata masuk kelas 1 saat usia mereka 5 tahun per akhir Agustus. Ara lahir bulan di bulan Oktober tahun 2006, dan tahun 2012 usianya hampir 6 tahun, namun tetap masuk year 1, sehingga di kelasnya Ara termasuk usianya matang, dibanding anak-anak lain yang lahir di bulan-bulan sebelumnya. Rata-rata teman Ara kelahiran 2007.

Seorang teman menceritakan sebuah pengalaman bahwa ada anak kembar yang kebetulan lahir, salah satunya masih di bulan Agustus akhir, sedangkan kembarannya lahir kurang lebih 5 menit kemudian, namun sudah masuk bulan September. Jadilah saat sekolah yang lahir di bulan Agustus masuk year 1 dan yang lahir September masuk kelas Reception (semacam TK B). Meskipun jeda hanya 5 menit saja, namun pihak sekolah menerapkan demikian aturannya. Dan memang tahun ajaran baru di sini adalah bulan September, bukan bulan Juli seperti di Indonesia. 

Mendatangi sekolah baru.

Kami semua datang ke sekolah setelah mendapat surat pemberitahuan dari pihak sekolah. Disana kami mengisi beberapa formulir terkait identitas anak, dan siapa yang perlu dihubungi pihak sekolah pertama kali jika ada kasus-kasus mendadak. Maka diputuskanlah abinya Ara saja, karena saya masih belum terbiasa berbicara bahasa setempat dan masih sangat kesulitan mendengarkan obrolan terutama dari telepon. Informasi lain yang diperlukan adalah apakah anak akan membawa bekal untuk makan siang atau berlangganan membeli di sekolah.

Setelah itu pihak sekolah menunjukkan seragam dan tas yang harus dibawa ke sekolah. Boleh membeli di luar atau membeli di sekolah yang bertuliskan nama sekolahnya. Seragam yang dapat dibeli di sekolah hanya 2 macam, yaitu jumper, dan tas saja, sisanya, seperti atasan putih, dan celana hitam atau abu-abu bisa dibeli sendiri di luar.

Selesai sudah kami mengisi formulir, dan beberapa wawancara. Kami dipersilahkan pulang, dan minggu depan Ara sudah diperbolehkan untuk masuk sekolah. Kenapa minggu depan? Karena keeseokan harinya, sekolah libur satu minggu, libur pertengahan term.

Hari-hari pertama masuk sekolah.

Di hari-hari pertamanya, alhamdulillah Ara tidak terlihat menunjukkan gejala cemas, atau malas berangkat sekolah. Saat pulang pun ekspresinya tetap ceria. Beberapa teman bercerita bahwa anak mereka terkadang menangis saat pulang sekolah di minggu-minggu pertama karena merasa frustasi tidak memiliki teman dan tidak bisa berkomunikasi dengan yang lain. Namun ada beberapa kejadian unik.


Saat itu sesampainya di rumah, Ara langsung menuju ke kamar mandi, rupanya dia bab di celana. Saya tanya kenapa bisa demikian, jawabnya sederhana saja, karena dia sebenarnya ingin bab di toilet sekolah namun tidak tau bagaimana cara meminta ijin ke kamar mandi dalam bahasa Inggris. Keesokan harinya, saya bekali Ara 1 kalimat sederhana jika ingin ke toilet "I need to go to toilet Miss". Alhamdulillah cara ini berhasil. Oiya sebelumnya saya juga harus mengajari Ara bagaimana cara membersihkan diri dengan tissu, karena di sekolah tidak tersedia air di toiletnya.

Beberapa hari kemudian, topi Ara ketinggalan di sekolah. Sebenarnya kurang tepat jika disebut ketinggalan, dia lupa menaruhnya dimana, dan saat hendak pulang, dia tidak berhasil menemukan topi itu. Saya tanya mengapa tidak menanyakan atau minta tolong guru di kelas. Ara menjawab tidak tahu cara minta tolong dalam bahasa Inggris. Paginya sbelum berangkat, saya bekali 1 kalimat sederhana lagi "I lost my hat yesterday, Can you please help me to find it?". Karena terlalu panjang, maka saya juga membekalinya dengan sebuah surat yang isinya ciri-ciri topi yang hilang, dan ungkapan minta tolong, serta ucapan terimakasih.

Alhamdulillah saat pulang sekolah, Ara sudah kembali mengenakan topinya. Kejadian seperti itu terulang beberapa kali, misalnya saat dia kehilangan tas, scarf, dan lain-lain. Pelan-pelan saya dan abinya membekali kalimat-kalimat sederhana sesuai konteks kejadian saja, agar dia tidak merasa bingung karena banyaknya hal yang harus dihafalkan. Alhamdulillah lama-lama kesulitan dalam bahasa ini bisa terlewati dalam kurun waktu kurang lebih 2 bulan.

Terkadang, saat saya mengobrol dengan gurunya atau menanyakan sesuatu, dan saya kurang mengerti dengan apa yang telah diucapkannya, maka saya minta tolong Ara untuk menjelaskan kepada saya. Ara lebih terbiasa mendengarkan logat setempat, sedangkan saya masih kesulitan, sampai saat ini pun.

PR pertama dari sekolah.

Sejak awal masuk sekolah, PR Ara adalah membaca buku cerita. Buku-buku cerita tersebut berlevel-level. Dari level yang paling rendah yaitu buku cerita bergambar dengan 2 atau 3 kata hingga ke level yang semakin tinggi, yang kalimat-kalimatnya semakin banyak dengan kosa kata yang beraneka ragam. Dari PR membaca itulah perbendaharaan kosa kata Ara semakin meningkat.


Selama kelas 1 ini, PR Ara masih seputar membaca, setiap minggu, guru akan mengecek sejauh mana kemampuan Ara dalam membaca dan memahami cerita. Jadi cara memantau perkembangannya, selain anak diminta membaca di depan guru, anak juga diajak berdiskusi tentang isi buku yang telah dibacanya. Hasil evaluasi akan ditulis di buku diary membaca anak.

Ara sempat diturunkan level membacanya karena beberapa kali guru menemukan Ara beberapa kali melewati kata yang harus dibacanya. Memang akhir-akhir ini Ara suka membaca cepat, karena sudah mulai terbiasa, namun efek negatifnya adalah beberapa kata jadi sering terlewati. Dalam buku diary nya, guru meminta agar Ara berlatih membaca dengan pelan dan hati-hati. Guru akan mengganti buku yang dipinjamkan pada anak jika guru merasa anak sudah mencapai target yang diberikan.

Efek positif dari PR membaca yang selalu diberikan tiap hari adalah Ara jadi lebih suka membaca, terutama jika mendapat buku baru dari gurunya. Dia juga mulai tertarik membaca koran yang tergelak di meja, sambil sesekali menanyakan arti dari kata-kata yang tida ia mengerti. Ara juga semangat jika diajak ke perpustakaan, karena dia bebas memilih buku apa saja yang ingin dia baca. Akhir-akhir ini dia mulai tertarik dengan buku non-fiksi. Saya pun berinisiatif mendaftarkan Ara sebagai anggota Bear Club, yaitu anggota perpustakaan yang sebenarnya dikhususkan untuk anak usia 5 tahun ke bawah. Alhamdulillah meski usia Ara 7 tahun saat mendaftar, namun penjaga perpustakaan mengijinkannya. Ara menjadi lebih semangat lagi ke perpustakaan karena akan mendapat reward berupa stempel di passport kartu anggotanya, dan bisa ditukarkan dengan sertifikat jika meraih 6 stempel.

Sedikit informasi tentang Bear Club.

Club ini sangat menarik, dan sangat baik jika diterapkan di Indonesia. Setiap bayi yang lahir di sini, akan diberi formulir baik oleh pihak Rumah Sakit tempat melahirkan atau oleh health visitor yang bertugas memantau kesehatan bayi di rumah. Keanggotaannya gratis, hanya mengisi formulir saja. Bayangkan saja, baru lahir kemarin, eh sudah punya kartu perpustakaan....benar-benar kebiasaan membaca yang dimulai sejak dini ya.... Ibu juga mendapatkan satu paket buku kain yang bisa dibacakan dan mulai dikenalkan pada bayinya yang baru lahir tersebut. Selama ini saya tidak terpikir untuk memberi kado buku pada bayi yang baru lahir, paling baju, selimut, atau perlengkapan bayi yang lain. Namun buku.....ternyata bisa dijadikan kado, dan menurut saya akan lebih bermanfaat tentunya.

Dan sudah menjadi hal yang wajar atau malah suatu kewajiban bagi setiap orang tua untuk mengenalkan membaca pada anak-anak mereka sedini mungkin, karena saat rasul menerima wahyu pertama kalipun yang beliau dengar adalah IQRO'.....subhanallah.







Selasa, 21 Januari 2014

Mengenal Perpustakaan



Pertama kali saya mengunjungi perpustakaan di Newcastle adalah saat beberapa bulan yang lalu, yaitu ke City Library. Perpustakaannya sangat besar, terdiri dari beberapa lantai. Tiap lantai dihubungkan dengan lift dan tangga. Di lantai paling bawah ada deretan buku-buku baru, beberapa komputer, dan meja resepsionis.

Saat itu saya, suami, dan anak saya berniat membuat kartu anggota, kami segera mencari informasi ke salah seorang resepsionis, penjaganya seorang laki-laki saat itu. Syarat pembuatan kartu anggota, sederhana saja, yaitu melampirkan salah satu surat penting yang disitu tertulis identitas nama, dan tempat tinggal kita. Surat penting itu bisa berupa passport, tagihan bank, surat kontrak rumah, SIM, dan semacamnya. 

Di UK tidak mengenal adanya KTP seperti yang ada di Indonesia, jadi surat-surat penting itu menjadi salah satu alat penunjuk identitas kita. Oiya, salah satu surat penting itu hanya ditunjukkan saja pada petugas pembuat kartu anggota perpustakaan, dan memasukkannya dalam data base mereka. Tidak perlu difotokopi, atau harus ditinggal, hanya perlu ditunjukkan saja. Kemudian mereka membuatkan kartu, kartunya mirip dengan kartu ATM, ada barcode, juga ada pin untuk mengaksesnya.

Fasilitas yang didapat sebagai anggota perpustakaan antara lain,

  • Meminjam 10 buku fisik sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan, dan buku-buku tersebut dapat dikembalikan ke perpustakaan pemerintah dimana saja di dalam area Newcastle.
  • Meminjam 5 buku digital dalam jangka waktu peminjaman juga 1 bulan.
  • Menggunakan komputer perpustakaan selama 1 jam secara cuma-cuma.
  • Mendapatkan informasi melalui email seputar kegiatan yang diadakan di perpustakaan. Kegiatan itu bisa berupa craft club untuk anak-anak, story telling, bermacam-macam lomba, berbagai macam perayaan seperti helloween dan sebagainya. 
Selesai membuat kartu, kami menuju lantai 3 tempat buku anak-anak. Disana terdapat rak-rak buku yang lucu dan unik bentuknya. Koleksi buku anak-anaknya sangat banyak. Tempat duduknya juga nyaman. Bisa memilih duduk di sofa, atau di karpet, atau di sebuah tempat yang menyerupai panggung, jadi agak tinggi. Saat itu banyak pengunjung di area buku anak, yaitu orang tua dan anak-anaknya. Suasananya sedikit riuh karena para orang tua sibuk membacakan buku pada anak-anaknya. Jadi terdengar bersahutan.

Tidak ada yang merasa terganggu, semua terlihat asyik mendengarkan cerita yang dibacakan orang tuanya masing-masing. Ada juga beberapa anak yang bermain berlarian kesana-kemari. Juga tidak ada petugas perpustakaan yang galak, menghardik suara-suara riuh seperti gambaran perpustakaan yang saya lihat di tayangan-tayangan televisi. Semuanya merasakan suasana yang rileks dan menyenangkan menyelami satu demi satu cerita di balik buku-buku itu.

Ara juga sangat sibuk waktu itu, mengambili beberapa buku yang menurutnya menarik dan meminta abinya untuk membacakannya. Saya sendiri larut membaca beberapa buku anak-anak yang cerita dan gambarnya sangat imajinatif. Buku anak-anak juga mudah dipahami, terutama bagi saya yang masih perlu banyak mengenal kosa kata bahasa Inggris. Saya belum tertarik untuk membaca novel, apalagi jurnal berbahasa Inggris, Road Dahl is the best.

Hari itu kami memutuskan untuk tidak meminjam buku fisik terlebih dahulu. Namun sesampainya di rumah, saya mencoba mengaktifkan aplikasi peminjaman buku digital. Alhamdulillah berhasil, sampailah petualangan Road Dahl di rumah kami. Saya juga mendownload buku audio buat Ara, biasanya dia mendengarkan buku itu sebelum tidur, lumayan untuk pengganti dongeng sebelum tidur.

Senin, 20 Januari 2014

English Idioms

Saat mengikuti kursus ESOL di Nunsmoor Community Centre, saya mendapat pelajaran tentang idioms, mungkin istilah Indonesianya seperti peribahasa. Inilah beberapa idioms yang saya dapatkan beserta artinya.



  • I've got a bone to pick with you. (I've disagreement to discuss with you)
  • Don't let the cat out of the bag. (Don't share a secret that wasn't suppose to be shared)
  • Blowing your own trumpet. (To tell everyone proudly about your achievement)
  • Turn over a new leaf. (Make a fresh start)
  • Don't make a mountain out of a molehill. (To give great importance to minor things)
  • It's time to face the music. (To face the consequences of one's action)
  • Mind your p's and q's. (To be well-behaved, to be careful)
  • I smell a rat. (Suspect something is wrong)
  • It's raining cats and dogs. (It's pouring with rain, a very loud and noisy rain storm)
  • Giving the cold shoulder. (To ignore someone, to reject someone)
  • Try not to get into hot water. (Try not to get into trouble)
  • She felt a bit under the weather. (Feeling ill or sick)
  • Her name rang a bell. (Her name is sound familiar, her name reminds someone or something)
  • He bit off more than he could chew. (To take on a task that is way to big)
  • She completely lost her head. (To become confused or overexcited about someone or something, to lose self-control)
  • She was over the moon. (She was very excessive)
  • The cat has got her tongue. (She doesn't seem to be saying anything)
  • He was caugth red handed. (To discover someone while he is doing something bad or illegally)
  • I was only pulling her leg. (I was tricking her as a joke)
  • A Little bird told me. (Told by a private or secret source)
  • Back to square one. (Having to start all over again)
  • Not my cup of tea. (Not my pleasure, not something that I like)
  • Watch paint dry. (An activity that you consider extremely boring)
  • Elbow grease. (The effort and strength to clean something)
  • Zip it! (Don't tell a secret)
  • Sit on the fence. (Do not want to choose or make a decision)
  • Just what the doctor ordered. (Exactly what is wanted or needed)
  • She's burning the candle at both ends. (She's working day and night)
  • He's pulling the wool over her eyes. (He's keeping a secret from her)
  • He's leading you up the garden path. (He's trying to fool you)
  • They paid through the nose for it. (They paid too much money for it)
  • Pull up one's shock. (To make an effort to improve)
  • Wild goose chase. (Futile search)
  • Have second thought. (Reconsider a decision).
  • Break the ice. (Overcome initial shyness)
  • At loggerheads. (To differ strongly)
  • Heat the nail on the head. (Be exact or accurate)
  • Throw in the towel. (To accept defeat)
  • Keep one's fingers crossed. (Hope for positive outcome)
  • Lend a hand. (Give some helps)
  • I put my foot in my mouth. (Say sorry)
  • I paid an arm and a leg for it. (I paid too much money for it)
  • It's on the house. (It's free)
  • Hold your horses. (Wait a minute)

Perayaan di Sekolah Ara


Perayaan natal semakin dekat. Saat itu Ara masih di sekolah lamanya sebut saja sekolah A. Beberapa hari itu agenda sekolahnya banyak berkisar seputar perayaan natal, seperti persiapan drama, berkirim kartu ucapan, cerita tentang Santa Klaus dan lain-lain.

Saat pulang sekolah, ada saja cerita atau pertanyaan yang dibawakan Ara, misalnya tentang baby Yesus, Santa Klaus, atau lagu-lagu natal yang kadang dia nyanyikan di rumah. Saya berusaha untuk tidak panik melihat "kebiasaan baru" Ara. Hanya berusaha mengalihkan dan memberi pengertian, misalnya saja saat dia menyanyikan lagu natal, saya ajak diskusi tentang lagu itu, misalnya itu lagu tentang apa, dinyanyikan untuk apa, dan sebagainya. Kemudian saya kenalkan dengan lagu-lagu islami yang tak kalah bagusnya dengan lagu itu. Abinya juga menunjukkan di Youtube, bahwa ada banyak lagu-lagu Islam yang enak untuk dinyanyikan. Alhamdulillah cara ini berhasil.

Suatu hari, sepulang sekolah, tiba-tiba dia merasa marah dan kecewa, setelah saya tanya alasannya, dia bercerita bahwa dia tidak dilibatkan dalam drama kelahiran Yesus. Saya tanya lagi kenapa sampai demikian, dia jawab bahwa saat itu guru bertanya saat hendak latihan "Ara, are you not sure?", saat melihat Ara kurang semangat saat sesi drama, lalu Ara terdiam karena dia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan itu. Kemudian gurunya berkata lagi "Okay you can play outside if you aren't sure". Akhirnya Ara dengan berat hati meninggalkan area drama dan bermain di luar bersama teman-teman lain yang tidak ikut bergabung dalam drama.

"Padahal aku ingin ikut Umi....", katanya sambil matanya berkaca-kaca. "Mungkin bu gurunya tahu kalau mbak Ara muslim, makanya bu guru tanya seperti itu sama mbak Ara, karena mbak Ara ndak jawab, dikira mbak Ara ndak mau", saya mencoba menjelaskan. "Tapi aku mau Umi..." masih sambil menahan air matanya. "Memangnya mbak Ara kenapa kok ingin ikut, kan mbak Ara tahu kalau kita tidak merayakan natal?", "Soalnya aku mau jadi dombanya Mi....nyanyinya bagus.....", masih berkaca-kaca lalu dia menirukan nyanyian domba yang dimaksud. Liriknya sih cuma embek....embek...saja sambil bergoyang-goyang badannya. Saya sebenarnya ingin tertawa, melihat ekspresinya itu, tapi saya tidak tega he3....

"Oh...jadi mbak Ara pingin sekali jadi domba? Ya sudah, besok bilang sendiri sama bu guru kalau mbak Ara mau jadi dombanya, ndak usah nangis gitu". Beberapa saat kemudian dia terdiam. Saya mengijinkan karena sudah mendengarkan alasannya.

Besoknya sepulang sekolah, saya tanya "Sudah bilang ke bu guru kalau mau ikut drama?". "Ndak jadi mi....soalnya Umi bilang kalau ndak ngrayain natal, ya udah aku main aja sama teman-teman", jawabnya. "Tapi ndak boleh sedih lho ya kalau nanti lihat temannya tampil drama", saya mewanti-wanti. "Ndak Mi, banyak juga temanku yang ndak ikut kok", ah lega rasanya mendengar jawabannya. Alhamdulillah satu permasalahan sudah selesai. Akhirnya dia memilih dan memutuskan dengan senang hati. Ini poin penting bagi saya dan Ara.

Tak lama kemudian, belum saatnya tampil drama dan perayaan natal, saya mendapat surat dari City Council jika Ara sudah mendapat tempat di sekolah baru yang lebih dekat dengan rumah. Di sekolah yang baru ini, sebut saja sekolah B temanya masih sama yaitu persiapan perayaan juga. Sepulang sekolah, dia mengajak berdiskusi tentang Santa Klaus.

"Mi, Santa Klaus itu lho real, tadi dia datang ke sekolahku, ngasih hadiah, nih buku cerita", sambil menunjukkan bukunya. "Wah bukunya bagus ya....", respon spontan dan dalam rangka nge les karena bingung mo komentar apa soal Santa. "Santa real kan mi? Dia punya rain deer, dan rumahnya di langit, tapi rain deer nya nggak diajak mi, dia datang sendiri". "Kok mbak Ara tahu kalau dia real?". "Soalnya pas masuk kelas dia teriak ...halo...I am the real Santa Claus ho...ho...ho... gitu mi.", jawabnya dengan semangat. Saya terdiam, berpikir sejenak.

"Iya orangnya memang real, orang beneran yang berperan sebagai Santa, kan mbak Ara pernah cerita kalau pernah bertemu Santa di City Centre kapan hari itu, kira-kira sama ndak wajahnya dengan yang datang ke sekolah mbak Ara?", mencoba berdialog. "Emmmm...sama jenggotnya sama bajunya, perutnya juga gendut Mi", jawabnya "Iya karena memakai jenggot pasangan, sama perutnya dikasih spon biar kelihatan gendut". Diskusi tetap berlangsung beberapa lama, beberapa hari kemudian juga, dan Ara masih percaya bahwa Santa itu real.

Bahkan ketika saya menceritakan siapa itu Santa yang sebenarnya, dia masih kukuh dengan pendapatnya. Tidak perlu panik, tetap mencoba memberi pengertian sedikit demi sedikit dan yakin bahwa suatu hari saya bisa menyampaikan dengan cara yang bisa diterimanya. Bismillah. Saya tidak marah dan menolak dengan apa yang ada di pemikirannya. Prinsip saya, biarlah Ara nyaman dulu mengutarakan semua pendapatnya mengenai apapun kepada saya, paling tidak dia tetap mau terbuka dan tidak segan-segan mengajak saya berdiskusi tentang apapun tanpa ada rasa takut.

"Mi aku ikut tampil drama lho...aku jadi pinguin", ceritanya saat sepulang sekolah. "Oiya? ceritanya tentang apa?", ingin tahu. "Seven little pinguins" tanpa diminta bercerita dia menjelaskan jalan cerita drama, dan lagu yang dinyanyikan oleh rombongan pinguin. Dalam hati saya bergumam, oh...ceritanya masih aman, dongeng biasa saja, meski tampilannya untuk perayaan natal nanti.

Sebenarnya di sekolah Ara yang baru ini banyak murid-muridnya mayoritas muslim karena lumayan banyak yang berkerudung saat sekolah, dan saya melihat dari banyaknya wali murid yang berkerudung saat mengantar maupun menjemput. Murid-muridnya kebanyakan pendatang entah dari jazirah arab seperti Irak, Libya, dan sekitarnya, juga dari Pakistan, atau dari negara lain yang mayoritas penduduknya muslim. Namun sekolah tetap menyelenggarakan dan mengenalkan perayaan natal sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Inggris, sifatnya bukan ke arah religius. Setidaknya itu menurut mereka para guru di sekolah itu.

Dari pengalaman yang saya dan Ara peroleh ini menjadi bahan pelajaran tentang adanya perbedaan keyakinan dan budaya yang nyata adanya. Menurut saya tidak perlu memungkiri ataupun menyembunyikan anak terhadap kenyataan yang ada, justru dari situ saya bisa mengajari Ara tentang arti dari saling menghormati dan bertoleransi, juga mencoba menjadi pemeluk Islam yang baik, menjadi duta seorang muslim yang baik. Dan perilaku itu juga menurut saya bisa menjadi syiar atau dakwah yang lembut. Wallahualam.

Jumat, 17 Januari 2014

Jeprat-jepret....

Semak-semak di taman Elswick
Masih di Elswick Park, warna merahnya sungguh indah
Suasana musim gugur di Nunsmoor Park
Pohon dengan buah kecil-kecil berwarna merah ini sungguh menarik perhatian 
Paduan warna hijau dan kuning
Warna kuning kecoklatan dedaunan penanda musim gugur semakin dekat
Suasana sore hari di depan sebuah gereja
Masih di gereja yang sama
Daun-daun yang mulai menguning di musim gugur

Halaman depan Hexam Train Station


Selasa, 07 Januari 2014

Tentang Kakek

Ini adalah sepenggal kisah tentang kakek saya yang saya dengar dari ibu saya. Kurang lebih begini ceritanya.
Saat itu Belanda masih menduduki Indonesia. Di sebuah desa tempat kakek saya tinggal saat itu ada sebuah Perusahaan Listrik Tenaga Air yang dibangun Belanda. PLTA itu masih dikuasai dan dioperasikan oleh sekelompok orang-orang Belanda dan beberapa orang pribumi, termasuk kakek saya yang membantu di sana, mungkin sebagai pegawai rendahan atau apa, saya kurang mengerti. Kakek saya membantu membetulkan mesin-mesin PLTA jika ada kerusakan. Melihat keahlian kakek saya, akhirnya salah seorang Belanda memutuskan untuk menyekolahkan kakek setingkat dengan entah STM atau lebih tinggi saat itu.

Setelah lulus, kakek kemudian dipekerjakan di PLTA tersebut. Selama bekerja di sana, kakek bertemu dengan nenek saya, yang konon adalah seorang anak dari penjual nasi pecel yang berjualan di sekitar PLTA. Ceritanya, kakek saya jatuh cinta sama anak penjual pecel, akhirnya menikah lah kakek dan nenek saya tersebut.

Saat itu kakek termasuk seorang pribumi yang cerdas dan berpendidikan tinggi pada zaman itu, dan memiliki jabatan yang bagus. Bahkan setelah menikah, kakek saya menempati jabatan sebagai kepala PLTA di tempatnya bekerja. Sementara nenek saya tidak bersekolah saat masih anak-anak, dan tidak mengenal baca dan tulis. MasyaAllah, inilah namanya jodoh yang telah digariskan Allah.

Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya sering sekali menginap di rumah kakek, dan nenek saya. Saat-saat itulah saya sering menjumpai kakek yang gemar mendengarkan berita berbahasa asing melalui radio kecilnya. Saya mengistilahkannya, radio "weng song weng song", karena saya tidak paham bahasa apa yang diperdengarkan di radio itu. Kalau sudah begitu, biasanya kakek tidak mau diganggu, saya biasanya bermain sendiri di sebelahnya.

Sementara itu nenek menunggui dagangan di depan rumah. Dagangannya berupa perlatan rumah tangga buatan tangan seperti kuali, anyam-anyaman, banyak jenisnya, namanya pun saya sulit menghafalnya. Anehnya, meskipun nenek tidak bisa baca dan tulis, namun setiap kali nenek membeli barang untuk stok dagangan, nenek bisa mengingat apa saja yang hendak di beli di luar kepala, serta berapa saja jumlahnya. Kemudian bisa mencocokkan harga dengan dagangan yang dimaksud.

Saya senang sekali ikut nenek berbelanja mengisi stok, karena saat itu lah saya bisa menikmati jalan-jalan naik delman, lalu kemudian menikmati sate kambing dan teh hangat di pasar, emmmm sungguh kenikmatan yang mewah bagi saya. Hingga saat ini jika saya mampir ke pasar tersebut, ingatan saya selalu menuju ke kenangan manis puluhan tahun lalu bersama nenek.

Kakek, bukan orang yang banyak bicara, pun sama cucu nya. Sesekali saja bertanya sesuatu, lebih sering tersenyum-senyum sambil mengamati saya dan teman-teman saya bermain. Namun ada hal yang paling saya suka, jika sore hari tiba, setelah saya mandi dan bersisir rapi, kakek selalu mengajak saya ke toko bejo dekat rumah. Pemilik toko itu bernama Pak Bejo, toko itu tidak menjual mainan ataupun kue, melainkan alat tulis. Di sana, kakek membiarkan saya mengamat-amati isi toko itu, lalu menyuruh saya memilih salah satu untk di beli.

Saya sering kebingungan dan berlama-lama disana, banyak sekali benda-benda yang menarik, seperti buku tulis bersampul lucu, pensil isi berbentuk aneka binatang dan bunga, kotak pensil piano, rautan lucu, penghapus yang berbentuk unik, dan banyak lagi.... Suatu hari saya memilih kotak pensil piano, hari lain lagi saya memilih buku, lain lagi saya minta dibelikan pensil bunga, dan lain lagi, lain lagi. Tidak setiap hari saya diajak ke toko Bejo itu, hanya sesekali saja saat kakek menerima upah dari hasil kerjanya. Saat itu kakek saya menjadi tukang bangunan.

Loh...kok bisa menjadi tukang bangunan? Bukankah sebelumnya kepala PLTA? Iya saat itu kakek sempat menjadi kepala PLTA selama beberapa waktu. Dengan fasilitas dan kemewahan yang diberikan pemerintah saat itu sungguh luar biasa. Namun memasuki tahun 60 an, saat ramai-ramainya gerakan PKI, kakek saya difitnah dan dituduh sebagai salah satu anggota PKI. Hingga suatu hari, kakek saya ditangkap di kantornya oleh militer, dan dibawa secara paksa ke sel-sel yang tempatnya berpindah-pindah.

Kakek yang ditangkap, otomatis nenek beserta anak-anaknya juga diminta keluar dari rumah dinas sesegera mungkin. Nenek pindah ke sebuah rumah sewa. Karena tidak bekerja sedangkan harus merawat ke 6 anaknya, akhirnya nenek menjual satu demi satu perabot rumah seperti kulkas, kursi, atau menggadaikan piring, jarit batik, dan lain-lain sembari mencari kakek dari sel yang satu ke sel yang lain.

Entah bagaimana ceritanya, kakek saya bisa kembali bersatu dengan keluarganya. Sejak itu nenek memutuskan untuk berjualan aneka gerabah, dan kakek menjadi tukang bangunan, hingga kemudian anak-anaknya menikah dan lahirlah cucu-cucu nya termasuk saya.

Saat saya SD kelas 6, salah seorang guru sejarah di kelas sering sekali menceritakan kisah tentang kakek saya di kelas. Kakek saya dikenal sebagai tokoh PKI yang baik hati, menurut guru saya, kakek saya adalah seorang PKI yang berpengaruh, meski demikian secara pribadi kakek saya sangat baik kepada orang-orang di sekelilingnya, termasuk guru saya tersebut. Saya diam saja, dan tidak pernah mengungkapkan bahwa saya adalah cucu dari seseorang yang beliau anggap sebagai tokoh PKI yang baik hati he3....

Senin, 06 Januari 2014

Sebuah Catatan Tentang Saya (Jilbab)

Saya memutuskan untuk memakai jilbab saat kelas 3 SMP, saat itu pihak sekolah memberikan kebebasan pada siswi-siswinya untuk mengenakan jilbab beberapa hari dalam satu minggu, jadi kami dipersilahkan memakai jilbab di hari yang kita mau. Di hari berikutnya sebenarnya boleh juga memakai jilbab seterusnya, namun bagi yang belum siap atau lebih karena keterbatasan seragam, boleh kembali membuka jilbabnya. 

Kenapa keterbatasan seragam? Maklum seperti saya sudah kelas 3, rasanya sayang jika harus membeli seragam baru, Alhamdulillah orang tua saya mau membelikan 1 stel seragam baru yang panjang, jadilah saya berjilbab di hari rabu dan kamis saja. Beberapa teman yang lain memakai jilbab dengan seragam mereka yang lama, yaitu atasan lengan pendek, dan rok se lutut, hanya memanjangkan kaos kakinya hingga ke lutut.  

Alhamdulillah teman-teman di sekolah tidak ada yang mengolok-olok kami dengan penampilan yang berubah-ubah, guru-guru kami juga demikian, mereka tidak menekan agar kami terus-menerus konsisten berjilbab ataupun juga mengkritik penampilan kami. Mereka rata-rata memberikan penghargaan pada kami. Terkadang guru kami tersenyum saat kami saling membetulkan jilbab kami yang mencong kesana-kemari, dan terus terang memakai jilbab bukan suatu hal yang mudah dan praktis buat saya pribadi, apalagi saya sangat tomboi di usia-usia itu.

Saat memasuki SMA, saya memutuskan memakai jilbab, awalnya lebih karena betis kanan saya terkena knalpot, dan saya malu dengan bekas luka itu. Alhamdulillah orang tua saya mendukung. Orang tua saya tidak pernah repot dengan penampilan saya sebenarnya, mereka mengijinkan saya memakai pakaian apa saja yang nyaman buat saya, entah itu berjilbab ataupun tidak. 


 Nah tapi saat SMA ini saya memakai jilbab hanya saat sekolah saja, begitu pulang sampai kos-kos an jilbabnya di gantungan he3...maklum punya baju muslimnya hanya seragam saja dan saya memang tidak minta dibelikan baju-baju panjang ke orang tua. Beberapa teman saya yang tahu hal itu ada yang tidak berkomentar, tapi ada juga yang berkomentar negatif di belakang saya, dan menyebarkan berita bahwa "Devy alim nya hanya di sekolah saja". Saya tahu siapa pelakunya, dan saya masih bisa berteman dengan dia karena saya merasa tidak tersinggung dengan komentarnya. Saya merasa tidak sedang mencari image alim, jadi saya tidak perlu tersinggung.  

Alhamdulillah lambat laun saya punya beberapa baju panjang, tidak banyak sih, tapi lumayan bisa untuk main ke kos an teman atau sekedar beli makan ke warung terdekat. Tapi lebih sering saya pakai celana panjang, kaos pendek lalu memakai jaket atau sweater untuk menanggulangi baju lengan panjang yang habis belum tercuci. Lama-lama kontroversi tentang "ke alim an" saya tidak terdengar lagi. Mungkin faktor juga saya bukan ABG populer di sekolah, jadi gosip tentang saya mudah hilang hi3....alias ndak penting.

Saat kuliah, luka di betis kanan saya sudah hilang, antara iya dan tidak ingin meneruskan berjilbab, karena saya merasa tidak ada lagi yang perlu saya tutup-tutupi. Pendapat orang tua? wah kalau soal itu tidak perlu repot, mereka masih seperti semula, membiarkan saya mengambil keputusan memakai pakaian model apa pun yang saya sukai. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap memakai jilbab. Tapi baju panjangnya cuma beberapa, sementara kuliah kan tidak pakai seragam, jadi perlu banyak baju ganti dong. Beli? Oh...itu bukan pilihan yang bijak buat saya, bisa kuliah saja sudah sangat bersyukur, tidak kepikiran buat minta dibelikan baju baru yang menutup aurot. 


Jadilah saya membawa beberapa celana dan kemeja kakak laki-laki saya yang tidak terpakai, dan jilbabnya tetap jilbab seragam SMA. Selama di kuliah ini, ada yang lucu lagi nih, ada kakak angkatan yang sering menyebut saya sebagai "miss tabrakan", dan pernah juga saya dimanfaatkan sebagai bahan lelucon di kelas, saat kami kebetulan kuliah bersama. Alhamdulillah saya juga tidak merasa tersinggung, karena saya memang sering memakai baju dengan tabrak warna, mau gimana lagi? lha itu memang kenyataan bagi saya, jadi buat apa saya marah he3... 

Saya memang sering sekali, atau memang sudah kebiasaan kali ya pergi kuliah memakai celana entah jins entah katun (milik kakak) warnanya kalau ndak hitam ya abu-abu, biasanya atasan kemeja kotak-kotak (milik kakak) bisa warna biru, ijo, habis itu pakai jilbab seragam SMA yang warnanya terbatas putih (seragam hari senin sampai kamis, Coklat (seragam pramuka), dan hijau muda (seragam khas SMA saya). Jadi mau ndak mau, pilihan warnanya itu-itu saja tinggal di mix aja biar terlihat ganti baju he3... jadi kebayang kan penampilan saya jaman itu? Sebenarnya itu salah satu yang saya tidak suka tentang kuliah, tidak pakai seragam, malah kebingungan milih baju (padahal nggak ada juga yang dipilih hi3....) Alhamdulillah saya tetap bisa bertahan hidup dengan becandaan itu, lama-lama hilang sendiri kok, nggak usah diapa-apain, mungkin males juga kali ya ngeliat saya bandel tetep pakai baju tabrakan meski berkali-kali diingatkan dengan cara seperti itu.

Berikutnya saya mencoba bergabung di kegiatan keagamaan universitas tempat saya belajar. Saat itu saya satu-satunya anggota yang masih belum memakai gamis atau rok, alias masih memakai celana panjang. Alhamdulillah saya diterima dengan sangat baik oleh teman-teman senior, dan mereka juga tidak pernah membicarakan cara berpakaian yang saya kenakan. Awalnya saya sempet kurang yakin akan diterima.

Melihat keanggunan teman-teman yang memakai gamis dan jilbab panjang, sungguh membuat saya sangat tertarik dan ingin merubah penampilan. Berkali-kali juga saya bertanya dimana tempat membeli jilbab dan gamis dengan harga mahasiswi. Bahkan salah satu teman saya bersedia mengantarkan saya ke toko itu.

Namun setelah melihat harganya....ternyata 1 gamis yang sederhana harganya melebihi jatah makan saya dalam seminggu. Ah nggak papa dalam hati saya, hari ini saya survey harga-harga dulu, gamis dan jilbab. Lokasi toko sudah tahu, lumayan jika ditempuh dengan jalan kaki dari kos-kos an. Suatu hari nanti jika sudah ada rejeki, bisa jalan ke toko ini sendiri.

Mulai saat itu, saya rajin menabung, mengurangi makan, kadang puasa, kadang masak mie instan yang dibekali orang tua. Alhamdulillah uang sudah terkumpul, dan saya berhasil membeli 1 buah gamis.....horeeee...... Setelah saya coba di kos-kos an, sedikit kebesaran, padahal itu ukuran terkecil di toko itu.

Tapi saya belum percaya diri memakai gamis itu untuk pergi ke kampus, karena masih punya 1, hari ini pakai gamis, besoknya celana, khawatir dibilang ling lung he3....
Saya tetap bertahan dengan penampilan saya, bukan karena tidak ingin tapi lebih karena bersabar mengumpulkan gamis dan jilbab besar. Hingga akhirnya suatu hari, ada rapat seluruh anggota dan pengurus organisasi keagamaan di universitas. Hari itu saya kaget karena saat membuka acara, ketua organisasi menyampaikan tentang masih adanya akhwat yang memakai celana, dan mengkhawatirkan profil organisasi nya akan di arah kan ke mana, dan seperti apa.

Saat itu tempat duduk ikhwan dan akhwat dipisah dengan hijab, jadi saya tidak tahu ekspresi wajah seseorang yang menyampaikan hal itu. Dan saat itu pun saya tidak pernah "ngeh" yang mana sih ketua organisasinya sebenarnya, karena saat rapat tidak pernah bertatap muka, jika bertemu beramai-ramai menurut saya pun mirip semua, berjenggot.

Perasaan malu dan kecewa bercampur aduk saat itu, saya hanya menunduk, tidak berani melihat wajah teman-teman yang lain. Karena saat itu akhwat yang bercelana di forum ya cuma saya, anggota perempuan yang bercelana ya cuma saya. Otomatis saya merasa pembicaraan itu mengarah ke saya.

 Saat itu saya mencoba bertahan di lokasi rapat tersebut, saya ingin mendengarkan hingga selesai. Hingga rapat selesai, alhamdulillah aman. Tidak ada teman-teman akhwat yang berkomentar tentang saya, yah setidaknya di depan saya. Dan mereka semua juga tetap baik dan ramah, tidak membedakan perlakuan mereka kepada saya. Alhamdulillah dengan perlakuan baik para akhwat itu, saya tetap bertahan di organisasi itu. Teman-teman akhwat juga tidak pernah menegur cara berpakaian saya, sama sekali.

Saat saya memasuki dunia kerja, yaitu di sebuah sekolah islam yang menuntut guru dan seluruh karyawannya untuk mengenakan gamis atau rok serta berkerudung panjang awalnya sungguh menyenangkan. Saya sangat bersyukur karena berada di tengah-tengah situasi kerja yang sangat islami. Namun....

Saat saya masih tertatih-tatih ingin belajar menjadi lebih baik, saya merasa ada sesuatu yang menghambat. Misalnya ada yang berkali-kali mengkritik penampilan saya, seperti jilbab kaos yang saya kenakan terlalu ketat, warna baju yang cerah, dan sebagainya. Namun yang lebih saya sesali bukan karena kritikannya, tapi lebih karena cara menyampaikan kritikan tersebut kepada saya.

Mungkin bukan kritikan, boleh lah dikatakan masukan. Tapi, sampainya kenapa bukan dari pemberi masukan langsung, melainkan dari orang lain, misalnya kata orang ini, kamu tidak boleh begini dan begitu, kerudungnya begini dan begitu. Padahal subyek yang memberi masukan itu kenal baik dengan saya, namanya juga satu kantor, bahkan saya dan orang tersebut juga sering berbicara dan bersendau gurau berdua. Tapi kenapa enggan memberi masukan langsung kepada saya. Wallahualam.

Itulah sedikit perjalanan saya dalam cara berjilbab, sepertinya, bagaimanapun cara saya berjilbab dan berpakaian, selalu saja ada yang menganggap salah dan kurang baik, kurang benar. Yang satu menganggap lebih baik dari yang lain.

Saya bersyukur, masih ada orang yang menerima proses saya untuk menuju kebaikan, dan bukan dari hasil atau penampakan luar saya saja. Yaitu suami saya, dia selalu mendukung apapun jalan saya untuk menuju kebaikan, baik ketika saya merasa sangat bersemangat, atau sebaliknya saat saya merasa futur dan berjalan sangat pelan. Dia lah yang selalu memberikan penilaian positif pada setiap usaha saya. Tidak ada kata lain yang perlu saya ucapkan selain ALHAMDULILLAH....